Header Ads

FIKIH ZAKAT KONTEMPORER

Fiqh Zakat Kontemporer

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dan didakwahkan olehnya dalam Q.S. al-Anbiyā’, [21]: 107 ditegaskan sebagai risalah rahmat bagi seluruh alam, raḥmatan (raḥmah) lil al-‘ālamīn.

“Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Raḥmah ialah riqqah taqtaḍī al-iḥsān ilā al-marḥūm, perasaan lembut (cinta) yang mendorong untuk memberikan kebaikan  nyata kepada yang dikasihi. Berdasarkan pengertian ini maka Islam diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad untuk mewujudkan kebaikan nyata bagi seluruh makhluk Allah. Kebaikan nyata dalam pengertian yang paling luas adalah hidup baik yang dalam Q.S. al-Naḥl, [16]: 97 disebut ḥayah ṭayyibah.    Dalam  al-Qur’an  ada  beberapa  ayat    yang  menyebutkan  3 kriteria hidup baik: lahum ajruhum ‘inda rabbihim (sejahtera sesejahtera- sejahteranya/al-rafāhiyyah kulluhā), wa lā khaufun ‘alaihim (damai sedamai-damainya/al-sālam kulluhā) dan wa lā hum yaḥzanūn (bahagia sebahagia-bahagianya/al-sa’adah kulluhā) di dunia dan di akhirat.

Supaya Islam benar-benar menjadi risalah yang menjadi rahmat bagi seluruh alam dalam pengertian di atas, al-Qur’an menggariskan pegangan dalam memeluknya. Pegangan ini disebut al-‘urwah al-wuṡqā (tali pegangan yang paling kuat) dan menjadi pedoman penghayatan dan pengamalan (santiaji) agama Islam.

Dalam al-Qur’an terdapat 2 ayat yang menyebutkan al-‘urwah al- wuṡqā dengan unsur-unsurnya terdiri atas iman, Islam dan ihsan.

Pertama, Q.S. al-Baqarah, [2]: 256: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Ṭāgūt dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Kedua, Q.S. Luqmān [31]: 22: “Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan”.

Urut-urutan unsur-unsur al-‘urwah al-wuṡqā tersebut dalam hadis riwayat  Imām Muslim dari sahabat  ‘Umar bin al-Khaṭṭāb adalah:  Islam, Iman dan Ihsan.

Ayahku –‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA- telah menyampaikan kepadaku, ia berkata: “Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasulullah SAW. Tiba-tiba muncul dihadapan kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan ia letakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, seraya berkata: “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah SAW menjawab, “Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramaḍān, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata, “Engkau benar.” Maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya. Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab, “Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikat-Nya; kitab-kitab- Nya; para Rasul-Nya; hari Akhir; dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.” Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi SAW menjawab, “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Lelaki itu berkata lagi: “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?” Nabi menjawab, “Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.” Dia pun bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!” Nabi SAW menjawab, “Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju; serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.” Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku (Umar bin al- Khaṭṭāb) pun terdiam, sehingga Nabi SAW bertanya kepadaku: “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,” Beliau bersabda, “Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” (H.R. Muslim)

Sebagai bagian dari pedoman penghayatan pengamalan agama Islam, makna unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:

1. Islam: Ketundukan untuk mewujudkan hidup baik di dunia dan akhirat

Islam adalah ketundukan kepada Allah yang mengungkapkan kehendak-Nya dalam 3 ayat: qauliyyah, kauniyyah dan tarīkhiyyah, yang menjadi mental kesadaran Muslim. Kesadaran adalah realitas primer yang ekspresi kesadaran “Islam” ini di antaranya adalah ketaatan yang disertai dengan ketundukan puncak yang disebut ibadah. Hadis dari Umar menjelaskan “Islam” dalam pengertian ketundukan dengan ibadah ini yang kemudian populer disebut sebagai rukun Islam dan dalam Muhammadiyah disebut ibadah khāṣṣah.

  1. Syahadat: Ibadah khāṣṣah puncak ketundukan yang menjadi pangkal berislam dengan ketundukan pikiran.
  2. Shalat: Ibadah khāṣṣah puncak ketundukan yang menjadi pangkal moralitas publik menyebarkan kedamaian, rahmat Allah dan berkat-Nya (makna shalat diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam)
  3. Zakat: Ibadah khāṣṣah puncak ketundukan yang menjadi pangkal kesejahteraan sosial (al-Taubah, [9]: 103) dengan mewujudkan al-namā’ wa al-rāī’ (masyarakat yang tumbuh, berkembang, subur dan indah)
  4. Puasa: Ibadah khāṣṣah puncak ketundukan yang menjadi pangkal kecerdasan emosional, pengendalian diri (al-Baqarah, [2]: 183).
  5. Haji: Ibadah khāṣṣah puncak ketundukan yang membuktikan kesetiaan (walā’) kepada Allah dan menjadi pangkal kesetiaan kepada agama, negara dan keluarga yang ekspresinya setia membela nasib hamba-Nya (haji mabrur adalah menyebarkan kedamaian dan memberi makan kepada yang kelaparan)
2. Iman: Keyakinan untuk mewujudkan hidup baik di dunia dan akhirat

Iman dalam bahasa arab dibentuk dari satu kata yang kata kerja intransitifnya amina-ya’manu dan maṣdar-nya amnan {ṭuma’ninatun nafsi wa zawāl al-khaufi: tenteramnya jiwa (damai) dan tiadanya ketakutan (aman)}, amanan (al-ḥālah allatī yakūnu ‘alaihā al-insān: keadaan aman dan damai yang dialami manusia) dan amānatan (mā ya’manu ‘alaihi al-insān: sesuatu yang menjadi dasar manusia merasa aman dan damai). Iman merupakan maṣdar dari kata kerja transitifnya sehingga jika dipahami dari asal bahasanya pengertian iman adalah kepercayaan yang potensial membuat aman dan damai dan aktual membuat manusia merasa aman dan damai serta aktual membuat manusia memiliki amanah atau trust dalam kehidupan pribadi, kehidupan sosial dan kehidupan dengan alam. Dalam Q.S. al-Baqarah, [2]: 256 iman kepada Allah dilawankan dengan pengingkaran kepada ṭāgūt dan dalam hadis riwayat Khalifah Umar, iman terdiri atas 6 rukun:

  1. Iman kepada Allah: kepercayaan yang menjadi pangkal mewujudkan integritas (anti ṭāgūt berupa syetan), integrasi sosial (anti ṭāgūt berupa Fir’aun dan tokoh-tokoh perusak perdamaian) dan rasionalitas (anti ṭāgūt berupa dukun/kāhin).
  2. Iman kepada Malaikat: kepercayaan yang menjadi pangkal mewujudkan pengendalian hidup melalui kontrol yang
  3. Iman kepada kitab suci: kepercayaan yang menjadi pangkal mewujudkan peradaban maju.
  4. Iman kepada para rasul: kepercayaan yang menjadi pangkal mewujudkan pembebasan kesengsaraan hidup di dunia dan
  5. Iman kepada Hari Kiamat: kepercayaan yang menjadi pangkal mewujudkan pertanggungjawaban dalam
  6. Iman kepada qadar: kepercayaan yang menjadi pangkal mewujudkan usaha-usaha sesuai dengan kodrat (kodrat manusia: kodrat wujud, kodrat eksistensi dan kodrat potensi) dan terukur
3. Ihsan: Pengabdian untuk Mewujudkan Hidup Baik di Dunia dan Akhirat

Dalam hadis di atas ihsan diberi pengertian: an ta’bud Allah ka annaka tarāhu fa in lam takun tarāhu fa innahu yarāka. Ta’bud adalah kata kerja yang maṣdar-nya bisa ‘ibādah (pengertiannya telah disebutkan di atas) yang hanya dilakukan kepada Allah dan juga bisa ‘ubūdiyyah yang berarti penghambaan atau pengabdian sehingga bisa dilakukan kepada Allah dan kepada yang lain (manusia, negara dan lain-lain). Dengan memperhatikan kedudukan manusia di bumi sebagai hamba dan khalifah Allah yang harus menyelenggarakan kehidupan atas nama-Nya, membawa nama-Nya dan dengan memohon berkat- Nya, ta’bud dalam hadis tersebut bermakna pengabdian. Pengabdian manusia kepada Allah dengan kedudukan itu dilaksanakan dengan peran-peran sebagait: pribadi, hamba Allah, anggota keluarga, warga komunitas, warga masyarakat, warga negara dan warga dunia.

Dari paparan di atas jelas bahwa zakat dalam Islam raḥmatan li al-‘ālamīn memiliki makna penting. Hal ini karena zakat merupakan sumber dana yang mutlak diperlukan dalam mewujudkan ḥayah ṭayyibah.

Zakat sebagai sumber dana sosial di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar baik dari sisi jumlah dana maupun dampak sosial ekonomi. Umat Islam yang jumlahnya sangat besar merupakan potensi sumber pendanaan yang belum tergarap secara maksimal. Sedangkan tingginya angka kemiskinan yang mencapai 25,4 juta orang atau sebesar 9,41% (Badan Pusat Statistik, 2019) merupakan sasaran utama pentasyarufan zakat, karenanya dua sisi agenda zakat yang belum bisa dikerjakan dengan intensif. Harapan zakat mampu menyelesaikan problematika kehidupan, akan terhambat ketika fundrising zakat tidak terkelola dengan baik.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh BAZNAS pada tahun 2019, potensi zakat Indonesia sebesar 462 Trilyun Rupiah, sedangkan kemampuan amil dalam menghimpun baru sebesar 6,22 Trilyun Rupiah atau setara dengan 1,34% (Puskaz BAZNAS, Indonesia Zakah Outlook, Jakarta: BAZNAS, 2019). Secara umum penyebab utama rendahnya pengumpulan dana zakat tersebut dipengaruhi oleh rendahnya kepercayaan terhadap lembaga amil, basis pengumpulan zakat masih terbatas pada jenis zakat tertentu seperti zakat fitri dan zakat profesi serta rendahnya insentif bagi wajib zakat yang menjadi wajib pajak supaya tidak terkena beban ganda (BAZNAS, Outlook Zakat Indonesia, (Jakarta: BAZNAS, 2017). Jika dianalisis lebih jauh, rendahnya kemampuan amil zakat dalam menghimpun dana zakat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal nadzir yakni kepercayaan, manajemen dan sinergi (Asmani, Jamal Makmur, Zakat Solusi Mengatasi Kemiskinan, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016), hal. 40.). Sedangkan faktor eksternal dapat berupa rendahnya kesadaran umat dan kurangnya edukasi.

Kepercayaan (trust) menjadi faktor sangat penting bagi Lembaga keuangan termasuk keuangan sosial Islam seperti amil zakat, nadzir wakaf dan badan amal sosial yang lain (Riduwan dan Ahmad Arif Rifan, Konstruksi Bank Syariah Indonesia, (Yogyakarta: UAD Press, 2018), hal. 29). Kemampuan membangun kepercayaan masyarakat sangat ditentukan oleh komitmen dan kapasitas manajerial amil. Sedangkan dalam aspek manajemen, profesionalitas manajerial amil sangat menentukan sistem manajemen yang dibangun. Dibutuhkan pemimpin amil dan nadzir wakaf yang memiliki visi jangka panjang serta menurunkannya kedalam agenda aksi yang bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Termasuk kemampuan manajemen dalam pengelolaan zakat juga mencakup kecepatannya dalam membangun teknologi informasi, baik sebagai sarana administrasi yang canggih maupun sosialisasi dan edukasi kesadaran zakat kepada masyarakat terutama kelompok millenial.6

Sedangkan faktor sinergi yang menjadi penentu keberhasilan penghimpunan zakat lebih disebabkan rendahnya kerjasama antar semua stakeholders zakat di Indonesia bahkan dunia. Masih sering dijumpai terjadinya tumpangtindih program antar amil, sehingga terkesan membingungkan calon muzaki atau munfik. Maraknya Lembaga amil zakat maupun badan amil zakat dengan semua struktur organisasi dibawahnya, merupakan fonomena yang positif karena akan mempermudah pelayanan, tetapi bisa menjadi potensi konflik jika tidak dibangun sinergi. Oleh karena itu, diperlukan kesamaan visi dalam manajemen lembaga amil zakat.

Faktor eksternal yang turut berpengaruh terhadap fundrising zakat adalah kondisi umat baik dalam kapasitas individu maupun kelembagaan, seperti perusahaan. Beberapa hal yang menyebabkan- nya adalah rendahnya kesadaran membayar zakat serta pemahaman yang masih terbatas. Kesadaran umat dalam membayar zakat dapat dipengaruhi oleh kurangnya edukasi, terbatasnya informasi termasuk teknologi zakat (zakat digital), yang belum mampu menjawab kebutuhan kaum muda.7 Lembaga amil zakat masih cenderung pasif dan tidak mampu membangun model pemasaran zakat seperti iklan yang menyentuh kesadaran umat, bahkan penggunaan bahasa maketing masih dianggap tabu.

Amil mesti lebih kreatif dalam mentasyarufkan dana zakat guna menyelesaikan masalah keumatan. Kreatifitas amil yang didukung dengan edukasi dan sosialisasi yang massif mampu mendorong calon muzaki untuk membantu program tersebut. Sedangkan faktor pemahaman kewajiban zakat yang menjadi tantangan penghimpunan zakat meliputi pemahaman fikih zakat yang masih terbatas, adanya kerancuan zakat mal dan fitri serta merasa lebih nyaman jika zakat langsung diberikan kepada mustahik (Zakariya Maheran dan M. Nurhayati Samba, Effectiveness of Zakah in Fulfilling Daririyat (basic needs), and Elevating the Zakah Recipient Standard of Living to Hajiyat, Comfortable Life in the Perspective of Maqashid Shariah, (ttp.: Jurnal Pengurusan, 2019) hal. 1-15.).

Oleh sebab itu, diperlukan strategi tertentu dalam manajemen zakat, supaya potensi yang besar tersebut dapat dikelola dengan baik:

a. Tatakelola yang baik (Good Zakat Governance)

Prinsip-prinsip manajemen modern seperti akuntabilitas, transparansi, responsibilitas menjadi dasar bangunan tatakelola dana sosial. Dengan prinsip tersebut mendorong manajemen untuk menyusun perencanaan srategis dalam mengelola dana sosial serta mampu meningkatkan kepercayaan umat (Suryo Pratolo, Good Corporate Governance, Implementasi Pada BUMN di Indonesia, Yogyakarta, (Yogyakarta: LP3M UMY, 2015) hal. 125).

b. Teknologi yang canggih (Zakat Digital)

Teknologi menjadi kebutuhan setiap organisasi, baik bisnis maupun sosial. Teknologi selain menjadi basis akuntansi zakat, juga berguna dalam memberikan edukasi, sosialiasi bahkan pemasaran dana sosial secara digital (Kenneth C. Loudon dan Jane P. Loudon, Management Information System, Managing the Digital Firm, terjemahan Lukki Sugito dkk, (Jakarta: Salemba Empat, 2015) hal. 97.).

c. Program yang menarik (Attractive Program)

Lembaga amil zakat dituntut mampu mengembangkan program penghimpunan dan pentasyarufan yang mampu menyentuh kesadaran umat Islam. Desain program perlu melibatkan semua stakeholder zakat supaya terbangun sinergi dan ikhtiar optimalisasi zakat dapat terwujud. Program yang menarik, memiliki pengaruh positif dalam membangun branding atau nama baik organisasi dan dengan sendirinya meningkatkan kepercayaan publik.11

d. Sumber daya kompetensi (Competency)

Semua stakeholder berkepentingan terhadap ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi tinggi dalam pengelolaan dana sosial. Pemerintah perlu memfasilitasi stakeholders lainnya dalam menyiapkan kebutuhan tersebut, seperti ditetapkannya standar kompetensi kerja sesuai dengan standar nasional. Manajemen amil zakat wajib memiliki sistem pengembangan karir dengan standar kerja sesuai sertifikasi kompetensi kerja. Dengan sistem manajemen sumber daya manusia yang baik, pegawai amil akan memiliki kenyamanan dalam bekerja dan kondisi tersebut mendorong produktifitas.12

Lembaga amil yang profesional, sebagaimana indikator tersebut, diharapkan mampu membangun manajemen amil yang tidak saja kuat dalam penghimpunan tetapi juga hebat dalam pentasyarufan. Bagi Muhammadiyah yang dikenal dengan organisasi modern terbesar dengan berbagai amal usahanya, tatakelola organisasi yang berbasis ilmu pengetahuan, teknologi dan tentu saja agama telah menjadi kebutuhan sejak awal ketika organisasi tersebut didirikan (Hilman Latief, Melayani Umat, Filantropi Islam dan Ideologi Kaum Modernis, (Jakarta: Maarif Institut, 2010) hal. 96). Karenanya tidak terlalu sulit bagi Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah disemua tingkatan dalam mengembangkan profesionalitas amil dan nadzir.

II. KONSEP ZAKAT

A. Makna Zakat

1. Menurut Bahasa (Lugat)

Menurut Lisān al-‘Arab, zakat (al-zakāt) ditinjau dari sudut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji; semua digunakan dalam al-Qur’an dan Hadis. Makna tumbuh dan suci ini tidak hanya diasumsikan pada harta kekayan, lebih dari itu, juga untuk jiwa orang yang menzakatkannya. Firman Allah SWT:

Ambillah shadaqah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka. (Q.S. al-Taubah [9]: 103)

2. Menurut Istilah (Syarā’)

Zakat ialah nama suatu ibadah wajib yang dilaksanakan dengan memberikan sejumlah kadar tertentu dari harta milik sendiri kepada orang yang berhak menerimanya menurut yang ditentukan oleh syariat Islam.

B. Beberapa Kata yang Berarti Zakat dalam Al-Qur’an

Zakat

Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang- orang yang ruku’. (Q.S. al-Baqarah [2]: 43)

Shadaqah

Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang? (Q.S. al-Taubah [9]: 104)

Ḥaq

Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam- macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (Q.S. al-An’ām [6]: 141).

Infaq

Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah (zakat), maka beritahukanlah kepeda mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (Q.S. al-Taubah [9]: 34)

C. Hikmah Zakat

Zakat merupakan ibadah yang memiliki dimensi ganda, transendental dan horizontal. Oleh sebab itu zakat memiliki banyak arti dalam kehidupan umat manusia, terutama Islam. Zakat memiliki banyak hikmah, baik yang berkait dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun hubungan sosial kemasyarakatan di antara manusia, antara lain:

  1. Menyucikan diri dari kotoran dosa, memurnikan jiwa (menumbuhkan akhlak mulia menjadi murah hati, memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi) dan mengikis sifat bakhil (kikir) dan serakah, sehingga dapat merasakan ketenangan batin karena terbebas dari tuntutan Allah dan tuntutan kewajiban kemasyarakatan.
  2. Menolong, membina dan membangun kaum yang lemah dan papa dengan materi, untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap Allah
  3. Memberantas penyakit iri hati dan dengki yang biasanya muncul ketika melihat orang-orang di sekitarnya berkehidupan cukup, apalagi mewah. Sedang ia sendiri tak punya apa-apa dan tidak ada uluran tangan dari mereka (orang-orang kaya)
  4. Menuju terwujudnya sistem masyarakat Islam yang berdiri di atas prinsip Ummatan Wāḥidatan (umat yang satu), Musāwah (persamaan derajat, hak, dan kewajiban), Ukhuwwah Islāmiyyah (persaudaraan Islam), dan Takāful Ijtimāiy (tanggungjawab bersama).
  5. Mewujudkan keseimbangan dalam distribusi dan kepemilikan harta, serta keseimbangan tanggungjawab individu dalam masyarakat.
  6. Mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan adanya hubungan seorang dengan yang lainnya rukun, damai, dan harmonis sehingga tercipta ketenteraman dan kedamaian lahir dan

Dalam masyarakat seperti itu, maka bahaya komunisme (Atheis) dan paham atau ajaran yang sesat dan menyesatkan tidak akan tumbuh dan berkembang lagi. Sebab dengan dimensi dan fungsi ganda zakat, persoalan yang dihadapi kapitalisme dan sosialisme sudah terjawab. Sehingga akan terwujud sebuah masyarakat yang Baldatun Ṭayyibatun wa Rabbun Gafūr.

D. Status, Kedudukan, dan Dalil-dalil Wajib Zakat

1. Status Zakat

Dengan memahami banyak ayat dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi, terutama dalam menempatkan kata zakat mengiringi kata shalat, kita dapat menentukan status zakat sebagai ibadah wajib yang penting seperti shalat. Ketentuan ini sangat jelas, misalnya pada Q.S. al-

Baqarah [2]: ayat 43: Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah kamu bersama orang-orang yang ruku’.

2. Kedudukan Zakat

Hadis riwayat Imam Muslim yang berbunyi: Islam didirikan atas lima sendi. Bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat menunaikan zakat, haji ke Baitullāh dan berpuasa di bulan Ramaḍān (H.R. Muslim).

Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa zakat itu satu di antara sendi berdirinya Islam. Ini berarti bahwa zakat itu salah satu sendi atau tiang utama dari bangunan Islam, yang dalam istilah fikih disebut rukun Islam. Ibarat orang shalat yang meninggalkan salah satu rukun, maka shalatnya batal. Demikian pula zakat sebagai rukun Islam, meninggalkan zakat bagi yang mampu, batallah status orang sebagai penganut ajaran Islam yang baik.

3. Dalil-Dalil Wajib Zakat

Firman Allah SWT: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Q.S. al-Bayyinah [98]: 5)

Firman Allah SWT: Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Q.S. al- Żāriyāt [51]: 19)

Firman Allah SWT:

Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. (Q.S. al-Ḥadīd [57]: 7)

Firman Allah SWT: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah, zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (Q.S. al-Baqarah [2]: 267)

Hadis Nabi SAW: Adalah Rasulullah SAW pada suatu hari duduk beserta para sahabatnya. Lalu datanglah seorang laki-laki dan bertanya “Wahai Rasulullah, apakah Islam itu?” Nabi menjawab; “Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, dan engkau dirikan shalat wajib dan engkau tunaikan zakat yang difarḍukan, dan berpuasa di bulan Ramaḍān (H.R. al-Bukhārī dan Muslim).

Hadis Nabi SAW: Islam didirikan atas lima sendi. Bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat menunaikan zakat, haji ke Baitullāh dan berpuasa di bulan Ramaḍān (H.R. Muslim).

Hadis Nabi SAW: Pesan Nabi ketika mengutus Mu’āż r.a. pergi ke Yaman: Sesungguhnya engkau (Mu’āż) akan mendatangi kaum dari ahli kitab, maka serulah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah, dan aku (Muhammad) adalah Rasulullah. Jika mereka telah mentaati yang demikian, maka terangkanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam. Jika yang demikian mereka taat juga, terangkanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat, yang dipungut dari harta orang-orang kaya di antara mereka, untuk diberikan kepada orang-orang fakir di antara mereka. Jika tugas inipun telah mereka taati, maka janganlah engkau mengambil selain dari hal tersebut. Muliakanlah harta-harta mereka. Jagalah dirimu dari doa orang-orang yang teraniaya, karena antara Allah dan orang yang teraniaya tidak ada hijab (penghalang). (H.R. al-Bukhārī dan Muslim)

Hadis Nabi SAW: Bila suatu kaum enggan mengeluarkan zakat, Allah akan menguji mereka dengan bertahun-tahun kekeringan dan kelaparan. (H.R. al- Ṭabrānī)

Hadis Nabi SAW: Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu. (H.R. al-Bazzār dan al-Baihaqī)

A. Macam-macam Zakat

Zakat termasuk kategori ibadah (seeperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Sekaligus merupakan amal sosial-kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia. Secara umum zakat terbagi menjadi dua macam:

  • Zakat Māl (Harta)

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah, zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang bururk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Q.S. al-Baqarah [2]: 267)

  • Zakat Nafs (Jiwa), juga Disebut Zakat Fitri

Dari Ibnu ‘Umar R.A.:Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitri 1 (satu) ṣā’ dari kurma atau gandum atas budak, orang merdeka, laki- laki dan perempuan, anak kecil dan orangtua, dari seluruh kaum muslimin. Dan beliau perintahkan supaya dikeluarkan sebelum manusia keluar untuk shalat (‘īd). (H.R. al-Bukhārī)

B. Syarat-Syarat bagi Orang yang Wajib Zakat

1. Mukmin dan Muslim

Zakat merupakan salah satu dari rukun Islam. Oleh karenanya, hanya diwajibkan kepada orang mukmin dan muslim.

Firman Allah SWT: Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan. (Q.S. al-Furqān [25]: 23)

Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang- orang yang ruku’. (Q.S. al-Baqarah [2]: 43)

2. Berakal

Orang yang tidak berakal tidak wajib berzakat. Kewajiban zakat hartanya dibebankan kepada walinya atau orang yang mengurus hartanya itu, seperti anak yatim yang mempunyai harta dan telah memenuhi syarat untuk dikeluarkan zakatnya. Hal ini sebagaimana

Hadis Nabi SAW: Rasulullah SAW bersabda: Niagakanlah kekayaan harta anak-anak yatim (jangan dibiarkan saja), supaya tidak habis dimakan oleh zakat. (H.R. al-Tirmiżī)

3. Kepemilikan Sempurna (al-Milk al-Tām)

Harta yang wajib dizakati adalah harta yang dimiliki secara sempurna oleh wajib zakat.

4. Memiliki Harta yang Mencapai Niṣāb

Kententuan-ketentuan lainnya mengenai zakat, termasuk pada Zakat Māl, Zakat Fitri, Mustahik Zakat dan sebagainya akan dibahas lebih lanjut pada bab tersendiri dalam draf ini. (Lazis Muhammadiyah, Pedoman Zakat Praktis, cet. VII (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2016) hal. 1-16 (dengan beberapa penyesuaian).

III. NILAI DASAR DAN PRINSIP ZAKAT DALAM AJARAN ISLAM

Ajaran normatif Islam terpatri dalam apa yang dikenal secara populer dengan syariah (dengan pengertian luas). Syariah dalam arti luas ini dapat dibedakan menjadi tiga bagian besar, yaitu bagian yang mengatur tingkah laku batin yang disebut akidah, bagian yang mengatur tingkah laku dilihat dari sisi moral, yang disebut akhlak, dan bagian yang mengatur tingkah laku dari sisi lahiriah, baik tingkah laku dalam berhubungtan kepada Sang Pencipta maupun yang berhubungan sesama makhluk, khususnya makhluk manusia, yang dikenal dengan syariah dalam arti sempit.

Syariah dalam arti sempit ini merupakan kumpulam norma yang mengatur tingkah lahiriah yang dibedakan menjadi dua kategori, yaitu kumpulan norma ajaran Islam yang mengatur tingkah laku dalam hubungan dengan Allah SWT, yang disebut ibadat, dan kumpulan norma ajaran Islam yang mengatur tingkah laku duniawi yang disebut muamalat dalam arti luas. Jadi secara keseluruhan ajaran Islam mencakup (1) ajaran tentang akidah, (2) ajaran tentang tingkah laku moral, yaitu akhlak, (3) ajaran yang mengatur tingkah laku ritual yang disebut ibadat, dan (4) ajaran yang mengatur kehidupan duniawi yang disebut muamalat dunyawiah.

Keseluruhan ajaran tersebut dapat disusun secara hirarkis, di mana norma yang lebih tinggi memayungi (jika dilihat dari bawah) atau melandasi (jika dilihat dari bawah ke atas) norma-norma lebih di bawahnya (dilihat dari atas). Dalam beberapa putusan Tarjih yang sudah ada, norma-norma ajaran Islam itu disusun dalam tiga jenjang, yaitu (1) nilai-nilai dasar, (2) asas-asas umum, dan (3) peraturan konkret.

Nilai-nilai dasar dimaksudkan kumpulan norma ajaran Islam yang mendasar seperti keimanan, keadilan, kemaslahatan, dan banyak lainnya yang dapat ditemukan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW atau disimpulkan dari keseluruhan semangat ajaran Islam. Nilai-nilai dasar ini mencakup nilai-nilai dasar teologis, seperti keimanan dengan berbagai cabangnya, nilai dasar etis, seperti keadilan, dan nilai dasar yuridis seperti kemaslahatan.

Nilai-nilai dasar ini bersifat sangat abstrak dan luas cakupannya sehingga karena itu, agar operasional, dikongkretisasi (dijabarkan secara lebih konkret) dalam asas-asas umum, yaitu prinsip- prinsip (asas-asas) yang melandasi sejumlah ketentuan konkret agama Islam. Misalnya nilai dasar kemaslahatan dapat dikonkretisasi dalam bentuk prinsip memudahkan (al-taisīr) dalam menjalankan norma agama. Dari prinsip ini diturunkan peraturan kokret tentang ibadah, misalnya musafir boleh mengqasar salatnya, ibu hamil boleh tidak berpuasa di bulan Ramaḍān dan diganti dengan membayar fidyah, orang dalam kesulitan keuangan diberi tangguh untuk membayar utangnya.

Contoh lain nilai dasar keimanan di antaranya berarti percaya bahwa Allah adalah Pencipta yang memberikan hidup kepada manusia, sehingga hidup manusia merupakan amanah dan sekaligus anugerah  Allah kepada manusia. Dari nilai dasar itu dapat diturunkan prinsip (asas) ajaran bahwa hidup itu suci dan harus dipertahankan sebagaimana ditegaskan dalam maqasid syariah “perlindungan hidup” (ḥifẓ an-nafs). Dari asas ini diturunkan ketentuan konkret, yaitu dilarang melakukan eutanasia (physician-adminstered death) atau bunuh diri dengan bantuan dokter (physician-assisted suicide).

A. Nilai-Nilai Dasar Islam Tekait Zakat

Nilai-nilai dasar Islam terkait zakat adalah nilai-nilai dasar yang berhubungan dengan harta kekayaan secara umum. Dari pembacaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW dapat disimpulkan nilai-nilai dasar Islam yang melandasi pengelolaan harta kekayaan, yaitu: (1) bahwa Allah adalah pemilik mutlak harta kekayaan, (2) bahwa Allah mendelegasikan pengelolaan harta kekayaan kepada manusia, dan (3) bahwa manusia, karena itu, adalah pemilik nisbi atas harta kekayaan yang ada di tangannya. Ini merupakan nilai-nilai dasar teologis. Nilai dasar etis adalah keadilan dan persaudaraan (solidaritas), dan nilai dasar yuridis syarʻi adalah

1. Allah Adalah Pemilik Hakiki Harta Kekayaan

Dalam akidah Islam diyakini bahwa Allah adalah Tuhan Maha Pencipta. Ayat pertama al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW menggambarkan Allah sebagai pencipta. Kemudian dalam berbagai ayat berikutnya Dia digambarkan sebagai Sang Maha Pencipta. Oleh karena Dia adalah Pencipta, maka seluruh alam semesta adalah milik-Nya karena pencipta adalah pemilik atas barang ciptaannya.

Secara khusus dalam al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah milik-Nya. Hal ini dapat dibaca dalam ayat-ayat betikut,

Milik Allah lah apa yang ada di langit dan di bumi… (Q.S. al-Baqarah [2]: 284)

Milik Allah lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; sesungguhnya Kami telah berpesan kepada orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan juga kepadamu agar bertakwa kepada Allah, dan jika kamu ingkar, maka sesungguhnya milik Allah lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan adalah Allah itu Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Dan milik Allah lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan cukup lah Allah sebagai pelindung (Q.S. al-Nisā’ [4]: 131-132).

2. Allah Mendelegasikan Pengelolaan Harta kepada Manusia

Dalam al-Quran ditegaskan juga bahwa Allah menciptakan manusia yang difungsikan sebagai khalifah di muka bumi. Dalam kapasitas sebagai khalifah, manusia diberi tugas (misi) memakmurkan bumi. Agar tugas memakmurkan bumi dapat dijalankan dengan baik Allah menganugerahkan dan mendelegasikan kepada manusia pengelolaan harta kekayaan yang menjadi sendi kehidupan.

Bahwa manusia difungsikan sebagai khalifah (dalam pengertian teologis) di muka bumi ditegaskan dalam firman Allah, (Ingatlah) ketika Tuhanmu berkata kepada Malaikat: Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang khalifah di muka bumi (Q.S. al- Baqarah [2]: 30).

Bahwa manusia diberi tugas (misi) memakmurkan bumi dan kehidupan di dalamnya disebutkan dalam ayat, (Nabi Ṣāliḥ) berkata: Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tiada Tuhan bagimu selain-Nya. Dia menciptakan kamu dari tanah bumi, dan menugaskan kamu untuk membuat kemakmuran di dalamnya (Q.S. Hūd [11]: 61).

Bahwa Allah mendelegasikan pengelolaan harta kepada manusia dapat dilihat dalam beberapa ayat al-Qur’an, Dialah Tuhan yang menciptakan untukmu segala yang ada di bumi, kemudian Dia menghadap ke langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu (Q.S. al-Baqarah [2]: 29).

Tidak engkau lihat bahwa Allah telah menundukkan untukmu segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan melimpahkan atasmu nikmat-nikmatnya yang nyata dan yang tersembunyi (Q.S. Luqmān [31]: 20).

Allah adalah (Tuhan) yang menundukkan laut kepadamu agar dapat dilayari kapal dengan perintah-Nya dan agar kamu mencari karunia- Nya dan agar kamu bersyukur. Dia menundukkan kepadamu apa yang ada di langit dan apa yang ada dibumi semuanya. Sesunggihnya pada yang demikian itu terdapat tandatanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berfikir (Q.S. al-Jāṡiyah [45]: 12-13).

Bahwa Allah menjadikan harta sebagai sendi kehidupan manusia dapat dilihat dalam ayat, Janganlah kamu serahkan harta bendamu yang dijadikan Allah sebagi sendi kehidupan bagimu kepada orang-orang dungu (safih). Penuhi keperlungan pangan dan sandang mereka, dan katakan kepada mereka perkataan yang patut (Q.S. al-Nisā’ [4]: 5).

3. Manusia Mempunyai Kepemilikan Nisbi atas Harta

Konsekuensi logis dari pernyataan bahwa Allah adalah pemilik mutlak harta adalah bahwa manusia merupakan pemilik nisbi yang menerima harta sebagai amanah dari Allah SWT. Oleh karena itu tidak semua harta yang dimiliki setiap orang adalah miliknya secara mutlak, melainkan di dalamnya terdapat hak orang lain sebagaimana difirmankan Allah, Di dalam harta mereka itu ada hak bagi orang yang meminta-minta dan tidak punya (Q.S. al-Żāriyāt [51]: 19).

Orang-orang yang di dalam harta mereka terdapat hak yang ditentukan, bagi orang yang meminta-minta dan tidak punya (Q.S. al- Ma’ārij [70]: 24-25).

4. Nilai Dasar Keadilan

Keadilan adalah ajaran dasar Islam yang mendapat penekan kuat dalam sejumlah ayat al-Qur’an. Antara lain,

Berlaku adillah kamu. Sesungguhnya berlaku adil itu lebih dekat kepada takwa (Q.S. al-Māidah [5]: 8).

Wahai orang-orang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan dengan bersaksi kepada Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau kedua orang tuamu atau karib kerabat (Q.S. al-Nisā’ [4]: 135).

Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan (Q.S. al-Naḥl [16]: 90).

5. Nilai Dasar Persaudaraan

Islam mengajarkan bahwa manusia itu bersaudara. Hal ini ditegaskan dalam hadis Nabi SAW, Dari Anas, dari Nabi SAW [diriwayatkan bahwa] beliau bersabda: Tidak beriman seseorang kamu sebelum mencintai terhadap saudaranya seperti mencintai terhadap dirinya (H.R. al-Bukhārī).

Hadis ini mengajarkan nilai dasar persaudaraan dalam Islam. Dalam persaudaraan terdapat solidaritas sebagai unsur penting di dalamnya.

6. Nilai Dasar Kemaslahatan

Tidak ragu lagi bahwa kemaslahatan merupakan nilai dasar penting dalam Islam. Meskipun tidak ada dalil khusus yang menegaskan nilai ini dalam Islam, namun, sebagaimana ditegaskan oleh al-Syāṭibī (w. 790/1388), penegasan suatu masalah tidak selalu harus berdasarkan suatu dalil khusus, tetapi bisa juga diambil daru ruh dan semangat umum ajaran Islam. Para ulama islam telah menyepakati bahwa kemaslahatan adalah salah satu nilai dasar bahkan sekaligus menjadi tujuan syariah.

Kemaslahatan di sini tidak dibatasi dalam arti perlindungan belaka terhadap kepentingan pokok manusia seperti perlindungan keberagamaan, jiwa-raga, akal, institusi keluarga dan harta kekayaan belaka. Kemaslahatan juga mencakup pemberdayaan dan pengembangan.

B. Prinsip-prinsip Zakat

Dari niai-nilai dasar agama Islam yang dikemukakan di atas diturunkan beberapa prinsip (asas) terkait pembayaran dan pendayagunaan zakat. Prinsip dimasksud meliputi (1) prinsip imperatif, (2) prinsip keadilan distributif, (3) prinsip kelenturan tafsir, (4) prinsip pemberdayaan, (5) prinsip kepastian hukum.

1. Prinsip Imperatif

Pengeluaran zakat oleh muzaki bukan suatu tindakan sepihak atas belas kasih, melainkan suatu kewajiban yang berlandaskan keyakinan bahwa Allah adalah pemilik harta yang mendelegasikan pengelolaannya kepada manusia dan karenanya manusia adalah pemilik nisbi, yang tercermin dalam pandangan bahwa dalam harta yang dimiliki itu, secara inheren, ada hak orang lain yang wajib dikeluarkan. Oleh karena itu pengeluarannya bukan suatu tindakan suka rela belaka, walaupun kesukarelaan itu dituntut agar tindakan pengeluarannya memperoleh makna kosmik yang memberikan nilai spiritual kepadanya. Dari itu pengeluarannya dapat ditagih karena ia adalah suatu kewajiban.

2. Prinsip Keadilan Distributif Terkoreksi

Dari ajaran dasar Islam keadilan, diturunkan prinsip keadilan distributif terkoreksi. Teori keadilan distributif mengajarkan bahwa orang memperoleh distribusi sesuai dengan kontribusi yang diberikannya (distribution according contribution). Islam juga pada prinsipnya mengakui prinsip ini yang dapat dilihat dalam sejumlah ayat al-Qur’an, antara lain, 

Bahwa seseorang tidak memikul beban dari perbuatan orang lain, dan bahwa seseorang memperoleh apa yang telah diusahakannya (Q.S. al-Najm [53]: 38-39).

Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Ia memperoleh apa yang ia usahakan dan memikul risiko dari apa yang ia lakukan (Q.S. al-Baqarah [2]: 286).

Meskipun Islam mengakui prinsip keadilan distributif sebagaimana nampak tegas dalam ayat-ayat di atas, namun ia mengoreksinya, karena konsekuensi logis dari prinsip ini adalah bahwa orang yang karena keadaan tertentu, misalnya lanjut usia, catat, atau lainnya, tidak berhak atas distribusi kekayaan masyarakat. Ini adalah suatu keganjilan bahkan sebuah ketidakadilan. Oleh karena itu Allah mengoreksi prinsip ini dengan menegaskan bahwa terhadap orang tidak punya dan tidak mampu ditetapkan hak tertentu dalam kekayaan warga masyarakat yang mampu. Inilah zakat, yang bilamana dikaitkan dengan prinsip imperatif, harus dibayar sebagai kewajiban untuk mengeluarkan sebagian dari hak orang lain yang ditumpangkan pada kekayaan muzaki.

Termasuk ke dalam prinsip keadilan distributif terkoreksi adalah dimungkinkannya melakukan ijtihad ulang tentang niṣāb dan kadar zakat pertanian.

3. Prinsip Kelenturan Tafsir

Dari nilai dasar kemaslahatan dapat diturunkan prinsip kelenturan tafsir dalam kaitannya dengan pengelolaan zakat, khususnya menentukan distribusi zakat. Pemahaman norma-norma zakat harus bersifat lentur dalam arti tidak kaku (rigid) sehingga zakat tidak dapat menjangkau pihak-pihak yang semestinya menjadi mustahik zakat. Tetapi sebaliknya juga tidak terlelu cair sehingga zakat mengalir kepada pihak-pihak yang sebenarnya tidak berhak. Walaupun aṣnāf zakat tidak perlu ditambah lebih dari yang sudah ditentukan secara tekstual, namun penafsiran norma-norma dapat dikembangkan sesuai dengan dinamika kehidupan sosial-ekonomi umat.

4. Prinsip Pemberdayaan

Dari nilai dasar maslahat dapat diturunkan prinsip pemberdayaan karena kemaslahatan itu tidak hanya sekedar perlindungan kepentingan dasar manusia, tetapi juga, di samping itu, adalah pemberdayaan dan pengembangan manusia baik sebagai individu, sebagai anggota keluarga maupun sebagai warga masyarakat. Prinsip ini terkait pengelolaan dan pendayagunaan zakat, yang harus mampu meningkatkan kesejahteraan, baik dalam membaikinya kualitas konsumsi (ḥifż al-nafs), membaiknya kondisi ekonomi, maupun meningkatnya kehidupan spiritual di mana mustahik dapat membebaskan diri dari penerima menjadi pemberi zakat.

Hindari distribusi zakat yang justru meningkatkan ketergantungan dan timbulnya sikap konsumtif serta pemanfaatan dana zakat yang salah arah di mana digunakan oleh satu orang untuk kepentingan membeli rokok misalnya sehingga dana zakat itu tidak berfungsi memberdayakan keluarga. Oleh karena itu pengelola zakat tidak hanya sekedar mendistribusikannya, tetapi harus mampu menjamin dan memantau serta memberi arahan bagaimana zakat menjadi efektif dan berhasil guna.

5. Prinsip Kepastian Hukum Syariah

Dari nilai dasar maslahat dapat diturunkan prinsip kepastian hukum syariah, yang berarti bahwa:

  1. Harta yang dikenai zakat adalah harta kekayaan yang berkembang
  2. Harta yang dikenai zakat adalah kelebihan dari kebutuhan dasar
  3. Aset tetap sebagai dasar operasi kegiatan bisnis tidak dikenai zakat
  4. Aset tetap yang menghasilkan pendapatan, selama tidak dijadikan dijadikan obyek dagang, tidak dikenai zakat (zakat dikenai pada penghasilannya)

BAB IV. HARTA YANG WAJIB DIZAKATI

1. Hasil Kerja-Usaha yang Baik (ayyibāt Mā Kasabtum)

1. Perdagangan

Perdagangan adalah suatu usaha untuk memperolehi keuntungan dengan cara berjual beli. Harta perdagangan, disebut juga “barang perdagangan” adalah segala sesuatu yang disiapkan untuk jual-beli guna mendapatkan keuntungan. Ia mencakup apa saja seperti peralatan, barang-barang, pakaian, makanan, perhiasan, hewan, tumbuh-tumbuhan, tanah, bangunan dan lainnya.

Perdagangan kini banyak dilakukan orang secara online, di samping secara offline sebagaimana dilakukan sejak zaman dahulu. Perdagangan dibenarkan dengan syarat antara lain tidak memperdagangkan barang yang diharamkan dan tidak mengesampingkan unsur akhlak dalam bermuamalat, seperti amanah, jujur dan saling menasehati, serta tidak lupa mengingat Allah dan menunaikan hak-hak-Nya meskipun sibuk dengan perdagangan.

Harta perdagangan wajib dikeluarkan zakatnya sebagai tanda syukur atas nikmat Allah dan untuk menunaikan hak-hak orang yang membutuhkan di kalangan hamba-hamba-Nya serta untuk maslahat umum, agama dan negara.

a. Dalil Kewajiban Zakat Perdagangan

Kewajiban mengeluarkan zakat harta perdagangan adalah berdasarkan dalil dari al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas. Dalil dari al-Qur’an adalah firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu (Q.S. al-Baqarah [2]: 267).

Para ulama tafsir memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan min ṭayyibāt mā kasabtum (dari hasil usahamu yang baik-baik) antara lain adalah dengan perdagangan. Bahkan Mujahid menyebutkan bahwa min ṭayyibāt mā kasabtum adalah dari perdagangan itu sendiri.

Dalil dari hadis antara lain seperti berikut: Dari Samurah bin Jundub [diriwayatkan] bahwa Rasulullah SAW dahulu menyuruh kami untuk mengeluarkan zakat dari harta yang kami persiapkan untuk perdagangan (H.R. Abū Dāwud).

Hadis ini jelas memerintahkan pengeluaran zakat dari harta yang diperdagangkan sehingga dengan demikian hukum zakat perdagangan adalah wajib. Lebih dari itu, Ibnu Qudāmah pengarang kitab al-Mugnī mengatakan bahwa kewajiban zakat perdagangan adalah merupakan ijma’.

b. Ketentuan Zakat Perdagangan

Zakat perdagangan mempunyai ketentuan-ketentuan berikut:

  • Niat berdagang, dan bukan niat untuk memiliki. Suatu barang itu terkena kewajiban zakat apabila diniatkan untuk diperdagangkan, bukan untuk disimpan atau dipakai Oleh karena itu, kalau ada seseorang membeli mobil untuk ia kendarai sendiri dengan niat kalau mendapatkan keuntungan  ia  akan  jual,  maka  itu bukan harta perdagangan. Ini berbeda dengan orang membeli mobil untuk diperdagangkannya, lalu ia mengendarainya untuk dirinya sendiri sampai ia mendapatkan keuntungan lalu ia menjualnya. Pemakaian mobil tersebut tidak mengeluarkannya dari harta/barang dagangan. Ini karena yang diperhitungkan dalam masalah niat adalah asalnya. Jika asalnya adalah untuk pemilikan dan pemakaian sendiri maka ia tidak menjadi barang dagangan hanya dengan keinginan menjualnya jika ada keuntungan. Dan jika asalnya untuk perdagangan, maka ia tidak keluar dari perdagangan hanya dengan pemakaian. Tetapi jika ia berniat untuk menukar barang dagangan menjadi pemilikan dan pemakaian sendiri, maka niat ini cukup untuk mengeluarkannya dari barang dagangan dan memasukkannya ke dalam pemilikan pribadi yang tidak berkembang dan tidak wajib dizakati.
  • Komoditas  yang    diperdagangkan    halal    lagi    ṭayyib. Komoditas yang tidak halal, baik barangnya maupun cara memperolehnya, tidak layak dizakati. Zakat tidak akan mensucikan harta yang jelas-jelas haram. Harta yang haram seharusnya dikembalikan kepada yang berhak jika memungkinkan.
  • Mencapai niṣāb. Apabila barang dagangan dan atau modalnya telah mencapai niṣāb, yaitu niṣāb emas (sebesar 20 miṡqāl/dinar atau setara dengan 85 gram emas murni) atau niṣāb perak (sebesar 200 dirham atau setara dengan 595 gram perak murni), maka perdagangan tersebut wajib dibayarkan zakatnya. Niṣāb zakat perdagangan dianggap sempurna pada akhir ḥaul saja, karena ia berkenaan dengan nilai, sedang menilai barang pada setiap waktu adalah sulit. Apabila suatu niṣāb itu sudah sempurna satu ḥaul maka itulah yang perlu diperhitungkan, sehingga setiap tahun seorang Muslim menzakati hartanya yang telah mencapai niṣāb, meskipun niṣābnya berkurang pada pertengahan tahun. Dan inilah yang dilakukan pada zaman Nabi SAW dan al-Khulafā’ al-Rasyidīn. Para amil zakat waktu itu tidak bertanya: “Kapan sempurnanya niṣāb ini? Dan berapa bulan sudah sempurna?”. Akan tetapi mereka cukup dengan hanya memperhitungkan bahwa ia telah sempurna ketika zakat diambil, kemudian mereka tidak mengambil lagi darinya zakat melainkan setelah berlalunya satu tahun qamariyah penuh.
  • Berlalu ḥaul (satu tahun). Hendaklah harta perdagangan yang telah mencapai niṣāb itu telah dimiliki selama satu tahun
  • Kadar zakat perdagangan yang harus dikeluarkan adalah sebanyak 2,5% atau 1/40.
  • Tempat berdagang, alat transportasi dan semua peralatan perdagangan tidak wajib
  • Barang dagangan dinilai dengan harga pasar waktu dizakati, bukan harga pada waktu membeli dahulu. Dan maksud harga pasar di sini adalah harga borong, karena dengan harga inilah barang itu bisa dijual dengan
  • Pedagang bisa memilih mengeluarkan zakat dari harga barang atau dari barang itu sendiri dengan menyesuaikannya dengan maslahat dan yang terbaik untuk mustahik (yang berhak menerima zakat).
  • Apabila perdagangan rugi, maka zakat hanya dikeluarkan dari modal apabila mencapai niṣāb dikalikan 2,5%.
c. Penghitungan Zakat Perdagangan

Apabila waktu berzakat tiba, pedagang muslim harus mengumpulkan seluruh harta perdagangannya; modal (barang dan atau uang), keuntungan bersih, simpanan, piutang yang bisa diharap kembali lalu menjumlahkan semua itu dan mengeluarkan 2,5%-nya. Adapun piutang yang tidak bisa diharapkan akan kembali, maka itu tidak wajib dizakati. Dan apabila ia mempunyai utang yang harus ia bayarkan, maka keseluruhan hartanya tersebut dikurangi utang-utangnya yang jatuh tempo dulu, lalu sisanya wajib ia zakati apabila mencapai niṣāb.

Dengan demikian, perhitungan zakat barang dagangan = modal barang (dinilai dengan uang saat jatuh ḥaul, bukan saat membelinya dahulu) + modal uang (jika ada) + keuntungan bersih (Total keuntungan dikurangi biaya operasional, seperti gaji pegawai dan sewa tempat usaha) (jika ada) + simpanan (jika ada) + piutang yang diharapkan kembali (jika ada) – utang yang jatuh tempo pada tahun pengeluaran zakat, bukan seluruh utang yang ada. Apabila setelah dijumlahkan mencapai niṣāb, maka dikeluarkan zakat sebesar 2,5% atau 1/40.

Contoh: Pak Amin mempunyai usaha perdagangan. Pada saat tiba haul, misalnya setiap akhir Ramadhan, maka Pak Amin harus menyiapkan Laporan Keuangan usaha perdagangan beliau dalam bentuk Neraca dan Laporan Laba Rugi. Kedua komponen Laporan keuangan tersebut dapat dipakai sebagai dasar penentuan besarnya zakat perdagangan yang wajib dikeluarkan. Misalnya berikut adalah Neraca dan Laporan Laba Rugi usaha tersebut:

Usaha Dagang Pak Amin
Neraca Per 30 Ramadhan 142x
Aset
Utang dan Modal
Kas 8.000.000 Utang Jangka Pendek 48.000.000
Tabungan 25.000.000 Utang Jangka Panjang 152.000.000
Piutang Dagang 45.000.000

Persediaan Brng Dagangan  

      100.000.000

 

Modal / Ekuitas:


 

Total aset lancar 178.000.000 Laba Tahun Berjalan 30.000.000
Aset tetap 152.000.000 Modal 100.000.000

      330.000.000
 330.000.000
UD Pak Amin
Laporan Laba (Rugi) Periode 1 Syawal – 30 Ramadhan 142X
Penjualan 120.000.000
Hrg Pokok Penjualan (70.000.000)
Laba Kotor 50.000.000


Biaya Operasional:
Sewa tempat usaha (12.000.000)
Gaji karyawan (8.000.000)
Total Biaya Operasional (20.000.000)
Laba Bersih        30.000.000

 Zakat perdagangan Pak Amin dapat dihitung dengan salah satu dari dua metode berikut ini, yakni:

  • Metode Aset Bersih. Dalam metode ini, asset bersih, yakni asset lancar setelah dikurangi dengan utang / liabilitas lancar dikalikan dengan tarif zakat sebesar 2,5%.
Dasar Perhitungan Zakat 1:
Total aset lancer
178.000.000
Utang Lancar
(48.000.000)
Dasar Zakat
130.000.000

Kewajiban zakat: 2,5% x Dsr Zakat:  3.250.000

  • Metode (besaran) Modal: Dalam metode ini, laba tahun berjalan ditambahkan dengan modal dikalikan tarif zakat sebesar 2,5%.
Dasar Perhitungan Zakat 2:

Laba tahun berjalan  30.000.000

Modal 100.000.000

Dasar Zakat 130.000.000

Kewajiban zakat: 2,5% x Dsr Zakat: 3.250.000

Catatan : Dalam metode 1, data perhitungan zakat hanya berasal dari Neraca. Sedangkan dalam metode 2, data perhitungan zakat berasal dari Neraca dan Laba Rugi. Kedua Komponen Laporan Keuangan ini sesungguhnya saling berhubungan, dan tidak terlepas antara satu dan yang lain.

2. Peternakan

Syarat-syarat zakat ternak:

  • Sampai niṣāb yaitu mencapai jumlah
    • Sapi dan Kerbau: Tiap 30 ekor dikenakan zakat seekor anak sapi umur satu tahun atau lebih, dan tiap 40 ekor dikenakan zakat seekor anak sapi umur dua tahun atau lebih. (Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2019) I:156.)
    • Kambing: Mulai 40 ekor sampai 120 ekor dikenakan zakat seekor kambing. Mulai 121 sampai 200 ekor dikenakan zakat 2 Mulai 201 sampai 300 ekor dikenakan zakat 3 kambing. Selebihnya dari 300 ekor setiap 100 ekornya dikenakan zakat seekor kambing. (Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, al-Amwāl fī al-Islām, (Yogyakarta: Penerbit Persatuan Yogyakarta, 1975) hal. 19.)
    • Unta, niṣāb dan kadar zakatnya adalah sebagai berikut:
      1. 5 sampai 24 ekor unta, tiap 5 ekor dikenakan zakatnya seekor
      2. 25 sampai 35 ekor unta dikenakan zakatnya seekor anak unta betina umur 2
      3. 36 sampai 45 ekor unta dikenakan zakatnya seekor anak unta betina umur 3
      4. 46 sampai 60 ekor unta, dikenakan zakatnya seekor anak unta betina umur 4
      5. 61 sampai 75 ekor unta, dikenakan zakatnya seekor anak unta betina umur 5
      6. 76 sampai 90 ekor unta, dikenakan zakatnya 2 anak unta betina umur 3
      7. 91 sampai 120 ekor unta, dikenakan zakatnya 2 anak unta betina umur 4
      8. Lebih dari 120 ekor unta, maka tiap-tiap ekor dikenakan zakatnya seekor anak unta betina umur 3 tahun dan tiap-tiap 50 ekor dikenakan zakatnya seekor anak unta betina umur 4
  • Jenis hewan yang lain niṣāb dan kadar zakatnya disesuaikan dengan jenis terdekat di antara tiga macam hewan tersebut di atas, atau dengan nilai harga dari jenis terdekat di antara tiga macam hewan

Ternak hewan-hewan tersebut di atas apabila diperdagangkan atau dijadikan suatu perusahaan, maka niṣāb dan kadar zakatnya adalah sama dengan harta dagangannya. 

  1. Telah dimiliki satu tahun. Hal ini merupakan ketetapan ijma’. Menghitung masa satu tahun anak-anak ternak berdasarkan masa satu tahun (Lazis Muhammadiyah, Pedoman Zakat Praktis, hal. 21).
  2. Maksudnya ialah sengaja diurus sepanjang tahun dengan maksud memperoleh susu, daging serta hasil perkembang-biakannya (Ibid).

Hadis Nabi SAW: Dari Bahz bin Ḥakīm dari bapaknya, dari kakeknya (diriwayatkan) ia berkata: “saya mendengar Rasulullah SAW berkata: setiap unta yang digembalakan zakatnya setiap 40 ekor adalah seekor unta betina”. (H.R. Aḥmad, al-Nasā’ī, dan Abū Dāwud).

Hadis Nabi SAW: Pada kambing yang dikembalakan, bila ada 40 ekor, zakatnya seekor kambing (H.R. al-Bukhārī).

  1. Tidak untuk dipekerjakan demi kepentingan pemiliknya, seperti untuk membajak, mengairi tanaman, alat transportasi, dsb. (biasanya hewan besar seperti sapi, kerbau, unta, dan lain- lain).

Sapi-sapi yang dipekerjakan tidak ada zakatnya (H.R. al-Ṭabrānī).

Ternak yang wajib dizakati antara lain: unta, sapi, kerbau, kuda, kecuali kuda tunggangan, dan kambing, domba, biri-biri, serta jenis lainnya.

3. Perusahaan

a. Pengertian

Perusahaan wajib zakat (Corporate Zakah) meliputi semua perusahaan yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan. Dalam kategori tersebut, maka yayasan, pendidikan atau perusahaan sosial (Social Interpreneurship) tidak termasuk wajib zakat. Jenis usaha perusahaan meliputi semua bidang bisnis seperti produksi, distribusi, kesehatan, perdagangan, dan jasa dengan semua jenis badan hukum yang digunakan seperti Perseroan Terbatas (PT), Commanditaire Vennootschap (CV) maupun Koperasi. (BAZNAS, Fikih Zakat Kontekstual Indonesia, (Jakarta: BAZNAS, 2018) hal.178).

Dasar perhitungan zakatnya dengan menganalisis laporan keuangan teraudit yang disusun dengan model cash basis. Pendekatan cash basis digunakan untuk memberikan kepastian bahwa pertumbuhan perusahaan tersebut bersumber dari penghasilan yang sudah diterima. Persyaratan perusahaan wajib zakat adalah:

  • Dimiliki (pemegang saham) oleh muslim/muslimah. Jika pemiliknya ada yang tidak beragama Islam, maka zakat berlaku atas deviden yang diterima oleh pesaham yang beragama Islam.
  • Memiliki laporan keuangan meliputi Neraca, Laba Rugi dan Perubahan Modal (equity), dan catatan atas laporan keuangan. Jika perusahaan tidak memiliki laporan keuangan, maka petugas amil zakat dapat membantu menyusun laporan Barang dan jasa yang diproduksi atau dijual merupakan barang yang Mendapatkan sumber pendanaan dengan sistem (Agus Arifin, Keutamaan Zakat, Infak dan Sedekah, (Jakarta: Gramedia, 2016) hal. 107).
b. Landasan Hukum
  • Landasan Syariah
    1. Dalil umum sebagaimana kewajiban zakat bagi setiap individu muslim/muslimah, seperti yang termaktub dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 267, al-Taubah [9]: 103, dll. Kategori harta yang wajib dizakati tidak disebutkan dalam al-Qur’an secara detail, meskipun banyak hadis yang memberikan penjelasan. Disamping itu, harta yang wajib dizakati semua menggunakan kata amwāl (jamak) untuk menunjukkan bahwa sumber zakat berasal dari segala harta yang telah memenuhi syarat tertentu. (Muhyiddin Khatib, Rekonstruksi Fikih Zakat, Telaah Komprehensif Fikif Zakat Pendekatan Teoritis dan Metodologis, (Malang: Literasi Nusantara, 2019) hal. 160).

Pemaknaan perintah zakat dalam al-Qur’an dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yakni ijmālī  (umum) dan tafsīlī (terurai). Dengan pendekatan ijmālī, maka perintah zakat berlaku pada semua jenis harta yang memenuhi standar tertentu, sedangkan pendekatan tafsīlī menjelaskan dengan rinci harta yang wajib dizakati. (Didin Hafiduddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004) hal. 91).

  1. Hadis Nabi Muhammad

Dari Suwaid bin Gaflah, ia berkata, “Penarik zakat Rasulullah SAW datang kepada kami, lalu aku pegang tangannya dan aku bacakan kepadanya, tidak boleh memisahkan perserikatan di antara dua orang (hingga jumlah kambing yang sedikit tidak kena zakat) atau mengumpulkan zakat dari dua orang yang berserikat (hingga jumlah yang dikeluarkan setiap orang menjadi sedikit) karena takut zakat. Lalu datanglah seorang laki- laki kepadanya dengan membawa zakatnya berupa unta besar yang banyak dagingnya, namun ia enggan menerimanya. Setelah itu, laki-laki tersebut datang dengan membawa unta yang lebih kecil, lalu ia menerimanya. Ia berkata, bumi mana yang akan aku pijak, langit mana yang akan aku naungi, jika aku mendatangi Rasulullah SAW dengan membawa unta terbaik seorang laki-laki muslim”. (H.R. Ibnu Mājah).

Hadis tersebut pada awalnya berbicara tentang perkongsian dalam ternak, tetapi atas dasar qiyas, maka perkongsian yang dimaksud bisa masuk kepada perkongsian atau syirkah dalam bentuk perusahaan seperti Koperasi atau Perseroan. (BAZNAS, Ibid., hal. 183).

  1. Ijtihad Ulama

Muktamar Internasional Pertama tentang Zakat pada tanggal 29 Rajab 1404 H di Kuwait menyatakan bahwa zakat sangat terkait dengan perusahaan dengan catatan disepakati oleh pemegang saham (untuk menjaga keridaan) dan sebaiknya dituangkan dalam aturan perusahaan. Yang dimaksud perusahaan mencakup semua jenis entitas bisnis syakhṣan i’tibāran (berdasarkan anggapan orang) maupun syakhṣiyyah ḥukmiyyah (hukum yang berlaku).

Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Bab I, Pasal 4 bahwa obyek zakat yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah perseorangan atau badan usaha/perusahaan.

Zakat merupakan wilayah muamalah, meski terjadi perbedaan pandangan karena ada yang memasukkanya kedalam ibadah. Jika zakat bagian dari muamalah, maka terbuka ruang untuk berijtihad atau perlunya melakukan rekonstruksi fikih zakat yang di dalamnya termasuk golongan wajib zakat. Oleh karenanya esensi zakat adalah kesetaraan sedangkan esensi ibadah dalam zakat merupakan tambahan (Muhyiddin Khatib, Ibid., hal. 157). Atas dasar keyakinan tersebut, maka perusahaan sebagai wajib zakat bagian dari ijtihad muamalah dengan azas maṣlaḥah mursalah.

Pembangunan kemanusian membutuhkan kemampuan ijtihad yang komprehensif dalam ranah ekonomi (iqtiṣādī). Karenanya konsepsi zakat sebagai ikhtiar pembangunan kemanusiaan memerlukan kelapangan pemahaman fikih muamalah untuk mencapai maqaṣid syarī’ah. (Jasser Auda, Maqshid Al Shariah As Philosophy of Islamic Law A System Approach, London, The International Institute of Islamic Thoucht, (London, 2007) hal. 25). Mewujudkan tatanan kehidupan yang sejahtera menjadi bagian penting dari ketercapaian maqaṣid syarī’ah. (Ahcene Lasasna, Maqasid al Shariah In Islamic Finance, IBFIM, (Malaysia, 2013) hal. 52).

Bank syariah sebagai entitas bisnis syariah wajib menerapkan kepatuhan syariah (DSN-MUI No. 3 tahun 2000, Fatwa tentang Pengawasan Syariah oleh Dewan Pengawas Syariah). Jika bank syariah wajib menerapkan kepatuhan syariah (padahal syariah untuk individu), maka perusahaan dapat diwajibkan patuh dalam membayar zakat karena zakat bagian dari kepatuhan syariah.

  • Landasan Sosial dan Ekonomi
    1. Zakat merupakan sistem yang mampu membangun relasi sosial yang setara dan saling menguatkan (Muhammad Hadi, Problematikan Zakat Profesi dan Solusinya Tinjauan Sosiologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hal. 68). Dengan pendekatan zakat, terjadi distribusi sumber daya yang lebih merata dan berkeadilan (Mek Wok Mahmud dan Sayed Sikandar Shah, (2009), The Use of Zakah Revenue in Islamic Financing: Jurisprudential Debate and Practical Feasibilty, Journal Studies in Islam and the Midle East, 6 (1) hal. 1-15). Hubungan muzaki dengan mustahik tidak bersifat struktural tetapi lebih kepada hubungan sosial-mutualistik.
    2. Ikhtiar mewujudkan kehidupan sosial yang sejahtera (falāḥ) membutuhkan sumber pendanaan yang tidak Jika perusahaan menjadi obyek zakat, maka potensi sumber dana zakat akan semakin besar sehingga peluang menyelesaikan masalah keumatan juga semakin besar (Asmalia et al (2018), Exploring the Zakah for Supporting Realization of Sustainable Development Goals (SDGs) in Indonesia, International Journal of Zakah: Special Issue on Zakah Conference, hal. 51-69). Mobilisasi dana-dana sosial menjadi sumber utama penyelesaian masalah kemanusiaan (Nasim Syah Shirazi, (1996), Targeting, Coverage and Contribution of Zakah to Houshold Income the Case of Pakistan, Journal of Economic Cooperation Among Islamic Countries, 17, (3-4) hal. 165-186).
  1. Program Corporate Social Responsibility (CSR), memiliki nilai yang sangat strategis karena mampu meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Pemerintah telah menetapkan bahwa setiap perusahaan wajib menyalurkan dana sosial dengan program CSR atau istilah lainnya adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (Undang-Undang No. 40 tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas, Pasal 74 ayat 1). Jika perusahaan terkena kewajiban CSR, maka zakat perusahaan bisa masuk kategori CSR tersebut, perusahaan wajib zakat (zakat korporasi) dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pembangunan (Noralizna  Abdul  Wahab  dan  Abdu  Rahim  Rahman,  (2016),  Productivity Growth of Zakah Institution In Malaysia, Studies in Economics and Finance, 29 (3) hal. 197-210).
c. Panduan Teknis Zakat Perusahaan
  • Perusahaan dikenakan hukum zakat diqiyaskan dengan zakat perdagangan karena dilihat dari aspek ekonomi, kegiatan dan tujuan perusahaan memiliki kesamaan dengan perdagangan yakni mencari (Ibid., hal. 102.).
  • Niṣāb zakatnya setara dengan 85 gram emas dengan ḥaul selama satu tahun, meskipun dapat juga dibayarkan zakatnya saat menerima penghasilan atau belum genap satu tahun (BAZNAS, Ibid., hal. 242).
  • Perusahaan yang bergerak di bidang produksi, jasa transportasi, perdagangan online, jasa konstruksi dan perdagangan umum, maka perhitungan zakatnya dapat dilakukan dengan dua (Ibid).
    1. Aset Lancar – Utang Lancar x 2,5%, atau;
    2. Laba sebelum pajak x 2,5%.
  • Perusahaan yang bergerak di bidang jasa, seperti jasa akuntan, konsultan manajemen, konsultan proyek, dokter, lawyer, dan yang setara dengan itu, perhitungan zakatnya seperti zakat profesi, yakni:
    1. Penghasilan saat diterima x 2,5%, atau
    2. Penghasilan yang diterima x 12 bulan x 2,5%.
  • Perusahaan yang bergerak dalam industri keuangan syariah seperti bank syariah, asuransi syariah, lembaga pembiayaan syariah, Baitul Mal wa Tamwil dan Koperasi Syariah, maka perhitungan zakatnya dapat dilakukan dengan dua cara, yakni:
    1. Aset Bersih = Aset Produktif – Utang Lancar x 2,5%, atau
    2. Ekuitas Bersih (Net Invested Fund) x 2,5%.

Contoh 1:

Perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan dengan metode (Aset Lancar – Utang Lancar) x 2,5%.

PT. Maju Sejahtera
Neraca Per 31 Desember 202X (000) 
Aset Jumlah Liabilitas Jumlah
Aset Lancar
Utang Lancar
Kas, Bank dan Setara Kas 150.000 Utang Dagang 250.000
Piutang Usaha 50.000 Utang Pajak 20.000
Persediaan Barang Dagangan 550.000 Biaya yang Masih Harus Dibayar 100.000
Uang Muka 100.000 Jumlah Utang Lancar 370.000

 

Penjualan


Aset Lancar Lainnya 100.000

Jumlah Aset Lancar 950.000 Utang Jangka Panjang
Aset Tetap
Pembiayaan Yang Diterima (PYD) 250.000
Tanah 100.000 Utang Jangka Panjang lainnya 30.000
Gedung 150.000 Jumlah Utang Jangka Panjang 280.000
Kendaraan 100.000 Modal
Inventaris Kantor 30.000 Modal Usaha
Penyusutan (100.000) Modal Saham 300.000
Jumlah Aset Tetap 280.000 Tambahan Modal Disetor 130.000


Laba Tahun Berjalan 75.000


Cadangan Risiko 75.000


Jumlah Modal 580.000
Total Aset 1.230.000 Total Liabilitas 1.230.000

 

Jadi perhitungan zakatnya adalah:

Perhitungan Zakat Metode Aset Bersih:


Total Aset Lancar
950.000
Total Utang Lancar
(370.000)
Aset Yang Wajib Zakat:
580.000
Kewajiban Zakat: 2,5% x 580.000 =           14.500

 

Metode Net Invested Fund (Equity):
Modal (Modal saham + Tambahan Modal saham + Cadangan Resiko) 505.000
Laba Tahun berjalan 75.000
Aset Yang Wajib Zakat: 580.000
Kewajiban Zakat: 2,5% x  580.000                                                      =           14.500

 Contoh 2:

Berkah Jasa Sentosa

Neraca Per 31 Desember 202X (Dalam 000) 

Aset Lancar
Utang (Liabilitas) dan Modal (Ekuiti)
Kas 75.000 Utang dagang 250.000
Piutang 950.000 Utang gaji 45.000
 

Persediaan

 

1.750.000

Utang jangka pendek

lainnya

 

50.000

 

Uang Muka

 

250.000

Total Utang Jangka

Pendek

 

345.000

Total Aset Lancar 3.025.000 Utang Jangka Panjang
Aset Tetap
Utang Jangka Panjang 900.000
Tanah 300.000

Bangunan 200.000 Modal:
Kendaraan 150.000 Modal Disetor 1.000.000
Peralatan 75.000 Cadangan 1.000.000
(Akumulasi Depresiasi Aset

Tetap)

 

175.000

 

Laba Ditahan

 

435.000

Total Aset Tetap 900.000 Laba Tahun Berjalan 245.000



2.680.000
Total Aset 3.925.000 Total Utang & Modal 3.925.000
PT. Berkah Jasa Sentosa
Laporan Laba Rugi 1 Januari – 31 Desember 202x (000) 
Keterangan Jumlah
Pendapatan
Penjualan Bersih 1.000.000
Harga Pokok Penjualan (500.000)
Laba Kotor 500.000
Bagi Hasil Penempatan Dana 50.000
Bonus Penjualan 30.000
Pendapatan Lainnya 20.000
Total Pendapatan 600.000
Beban Usaha
Biaya Penjualan (100.000)
Biaya Bagi Hasil Pembiayaan (75.000)
Biaya Tenaga Kerja (50.000)
Biaya Penyusutan Aset (30.000)
Biaya Operasional Lainya (100.000)
Jumlah Biaya (355.000)
Laba (Rugi) Usaha 245.000

 

Perhitungan Zakat:

Metode Aset Bersih:


Aset Lancar 3.025.000
Utang Lancar (345.000)
Aset yang wajib dizakati 2.680.000
Kewajiban zakat: 2,5% x 2.680.000

=

 

           67.000

Metode Net Invested Fund (Equity):
Modal total selain Laba th berjalan 2.435.000

 

Laba tahun berjalan
245.000
Aset yang wajib dizakati
2.680.000
Kewajiban zakat: 2,5% x 2.680.000 =            67.000

Contoh 3:

Perusahaan yang Bergerak di bidang Jasa Keuangan.

BPR SYARIAH SEJAHTERA BERSAMA

NERACA PER 31 DESEMBER 202x (Dalam Jutaan Rupiah)

Keterangan Jumlah Keterangan Jumlah
Aset Liabilitas
Kas 500.000 Giro Wadiah 250.000
Gira Wadiah BI 1.500.000 Tabungan Wadiah 15.000.000
Surat Berharga 15.000.000 Tabungan Mudarabah 12.500.000
Penempatan Bank Lain 2.500.000 Deposito 10.000.000
Piutang 14.000.000 Jumlah Utang

Lancar

37.750.000
Pembiayaan 12.400.000 Pembiayaan yang

diterima (PYD)

300.000
Ijarah 2.500.000 Sukuk 0
PPAP (250.000) Jumlah Utang Jangka Panjang 300.000
Jumlah Aset

Produktif

48.150.000 Modal Disetor 8.500.000
Aset Tetap
Tambahan Saham 1.200.000
Tanah dan Gedung 250.000 Laba Ditahan 250.000
Inventaris 100.000 Laba Tahun Berjalan 350.000
Penyusutan (50.000) Cadangan Umum 100.000
Jumlah Aset Tetap 300.000 Jumlah Modal 10.400.000
Total Aset 48.450.000 Total Liabilitas 48.450.000
PT BPRS Sejahtera Bersama
Laporan Laba Rugi Periode 1 Januari – 31 Desember 202x (Dalam 000)
Pendapatan
Bagi Hasil Pembiayaan 1.400.000
Margin 1.800.000
Ujrah 500.000
Bagi Hasil Penempatan Dana 350.000
Jasa Adiministrasi 200.000
Operasional Lain 450.000
Total Pendapatan 4.700.000
Biaya
Bagi Hasil Dana 2.000.000
Bonus Wadiah 1.000.000
Tenaga Kerja 100.000
Operasional Lain 1.250.000
Total Biaya 4.350.000
Laba 350.000
Perhitungan zakat:
Metode Aset Bersih:
Aset Lancar 48.150.000
Utang Lancar 37.750.000
Aset Yang Wajib Dizakati 10.400.000
Zakat: 2,5% x 10.400.000,-        260.000
Metode Net Invested Fund (Equity):

Modal selain laba tahun berjalan

 

 

10.050.000

Laba Tahun Berjalan 350.000
Aset Yang Wajib Dizakati 10.400.000
Zakat: 2,5% x 10.400.000,- 260.000
4. Surat-surat Berharga
a. Saham

Pengertian. 

Saham merupakan bentuk kepemilikan atas perusahaan karenanya pemegang saham merupakan pemilik perusahaan. Keuntungan atau kerugian atas saham diketahui setiap akhir tahun setelah dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan pada saat itulah kewajiban zakat saham muncul. Ketentuan tentang saham wajib zakat yakni harus ditempatkan pada perusahaan yang bebas riba, tidak memproduksi atau menjual barang haram dan perusahaan memiliki legalitas hukum yang sah. Ketentuan atas zakat saham dibagi menjadi dua yakni, pertama jika perusahaan itu murni industri atau tidak melakukan perdagangan seperti hotel, angkutan/transportasi, maka tidak wajib zakat atas saham karena asset perusahaan berbentuk benda tetap, zakatnya diwajibakan atas perusahaan secara keseluruhan. Kedua, jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan dagang, maka zakat saham tersebut wajib dibayarkan (Yūsuf al- Qaraḍāwī, Fiqh al-Zakāt, (Beirut: Muasasah Risālah, 1973) hal. 529). Meskipun sesungguhnya tidak ada perusahaan yang tidak melakukan perdagangan, karena industri perhotelan sekalipun merupakan perusahaan yang memperdagangkan jasa.

Dasar Hukum

    • Kewajiban zakat yang melekat pada semua jenis harta, sebagaimana yang tertera dalam Q.S. al-Taubah [9]: 103 dan al-Baqarah [2]:
    • Keputusan Muktamar Internasional tentang Zakat di Kuwait (26 Rajab 1404) telah menetapkan zakat atas saham, obligasi, sukuk dan yang

Secara sosiologis, pemilik saham dan surat berharga lainya merupakan kelompok menengah atas yang sepantasnya memiliki tanggungjawab sosial yang besar. Potensi saham dan surat berharga sebagai sumber zakat terbukti mampu meningkatkan pengumpulan zakat dan memberikan dampak positif dalam penyelesaian masalah (Shirazi, Ibid., hal. 171).

Ketentuan Zakat Saham

    1. Niṣāb zakat saham diqiyaskan dengan zakat perdagangan yakni 85 gram emas dengan kadar zakatnya 2,5% dan ḥaul satu
    2. Jika perusahaan telah membayarkan zakat sebelum deviden dibagi, maka pesaham tidak wajib mengeluarkan zakat tetapi jika perusahaan belum membayar zakat, maka pesahamlah yang berkewajiban membayarnya (BAZNAS, Ibid., hal. 118 dan Arifin, Ibid., hal. 69). Kewajiban zakat pesaham dan perusahaan ini dicantumkan dalam peraturan

Contoh. Jika seseorang memiliki saham senilai 1 Milyar dengan keuntungan 250 juta. Maka zakat sahamnya adalah 1.250 Milyar x 2,5%= 31.250 juta.

b. Obligasi Syariah/Sukuk

Pengertian

Surat berharga merupakan bukti kepemilikan sejumlah harta pada perusahaan tertentu dengan jangka waktu tertentu pula berdasarkan prinsip syariah. Termasuk dalam surat berharga meliputi deposito mudarabah, reksa dana dan sukuk dengan akad ijarah maupun mudarabah dan musyarakah.

Obligasi tidak termasuk obyek zakat karena dikelola dengan sistem bunga yang masuk kategori riba yang diharamkan (Arifin, Ibid., hal. 89). Jika surat berharga menggunakan akad ijarah, maka return atau ujrah yang diterima setiap periode bisa sama, tetapi jika menggunakan akad muḍārabah atau musyārakah (Habil Hanapi, (2019), Penerapan Sukuk dan Obligasi Syariah di Indonesia, Jurnal Ilmu Akuntansi dan Bisnis Syariah, 1(2) hal. 145-162), maka bagi hasil setiap periode bisa berbeda. Dengan obligasi syariah menjadi obyek zakat, maka orang tidak akan memilih investasi obligasi syariah dari pada saham (M. Abu Zahrah, Penerapan Zakat dalam Dunia Modern, terj. Anshari Umar Sitanggal, (Jakarta: Pustaka Dian dan Antar Kota, 1989) hal. 187).

Ketentuan zakat atas surat berharga:

    1. Diqiyaskan dengan zakat perdagangan, dengan niṣāb 85 gram emas dan ḥaul satu tahun, dengan kadar zakat 2,5%.
    2. Niṣāb dihitung dari harta pokok surat berharga ditambah dengan bagi hasil atau ujrah.
c. Premi Asuransi

Pengertian

Asuransi syariah merupakan usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang  melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru’ dengan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai syariah (DSN-MUI, No. 21/DSN-MUI/X/2001 Fatwa tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah). Premi asuransi merupakan iuran yang dibayarkan oleh nasabah asuransi kepada perusahaan asuransi dan merupakan tagihan nasabah kepada perusahaan asuransi setelah periode tertentu atau saat jatuh tempo. Akad premi asuransi syariah menggunakan akad muḍārabah atau ijārah.

Premi asuransi pada dasarnya adalah harta investasi dengan jangka waktu yang telah disepakati dan menjadi obyek zakat (Republika.co.id, 13 Agustus 2013), jika perusahaan asuransinya merupakan asuransi syariah. Yang menjadi objek zakat adalah premi yang telah diterima kembali oleh nasabah.

Landasan Hukum

    • Kewajiban zakat yang melekat pada semua jenis harta, sebagaimana yang tertera dalam Q.S. al-Taubah [9]: 103 dan al-Baqarah [2]:
    • Keputusan Muktamar Internasional tentang Zakat di Kuwait (26 Rajab 1404) telah menetapkan zakat atas saham, obligasi, sukuk dan yang
    • Secara sosiologis, pemilik premi dan surat berharga lainya merupakan kelompok menengah atas yang sepantasnya memiliki tanggungjawab sosial yang besar. Potensi premi dan surat berharga sebagai sumber zakat terbukti mampu meningkatkan pengumpulan zakat dan memberikan dampak positif dalam penyelesaian masalah (Shirazi, Ibid., hal. 171).

Ketentuan Zakat Premi Asuransi:

    1. Premi telah jatuh tempo baik secara bertahap maupun sekaligus dan dana telah diterima oleh
    2. Kewajiban zakatnya diqiyaskan dengan zakat perdagangan yakni niṣāb 85 gram emas dan ḥaul satu tahun, dengan kadar zakat 2,5%.
    3. Niṣāb dihitung dari harta pokok premi asuransi ditambah dengan bagi hasil atau ujrah.
5. Profesi

Profesi atau pekerjaan orang selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman. Banyak profesi yang dahulu tidak ada, tapi kini ada karena dianggap penting dan dibutuhkan masyarakat. Profesi yang baru tentu belum dibahas oleh para ulama zaman dahulu.

Para ulama kontemporer berpendapat bahwa profesi atau pekerjaan apapun yang mendatangkan penghasilan atau pendapatan itu merupakan obyek zakat. Baik profesi tersebut dikerjakan sendiri oleh seseorang tanpa harus tunduk kepada orang lain, seperti profesi dokter, insinyur, pengacara, seniman, penjahit, tukang kayu dan lainnya, sehingga pendapatannya dalam hal ini adalah pendapatan yang tergantung kepada pekerjaan atau profesinya, maupun pekerjaan itu tergantung kepada pihak lain seperti pemerintah, perusahaan atau individu, sehingga pendapatannya itu berupa gaji, upah atau honorarium.

a. Dalil dan Argumentasi

Semua penghasilan dari pekerjaan profesional, apabila telah mencapai niṣāb, wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil yang bersifat umum dan argumentasi-argumentasi berikut:

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Taubah [9]: 103).

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu (Q.S. al-Baqarah [2]: 267).

Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (Q.S. al- Żāriyāt [51]: 19).

Tiga ayat di atas memerintahkan pengambilan zakat dari semua jenis harta orang-orang yang beriman. Hal ini karena terdapat manfaat yang nyata, baik bagi pemberi maupun bagi penerimanya. Oleh karena itu, zakat secara umum hukumnya wajib. Termasuk di dalamnya, zakat profesi, itu juga wajib.

Dari segi argumentasi, di dalam penghasilan dari profesi itu terdapat ‘illat/kausalitas kewajiban zakat yaitu al-namā’/ berkembang, sedang hukum itu ada dan tidak ada bersama ‘illatnya.

Selain itu, gaji dan upah itu termasuk māl mustafād (kekayaan perolehan seperti pemberian dan warisan, selain perdagangan), yaitu harta yang dimanfaatkan oleh seorang muslim dan dimilikinya dengan kepemilikan baru dengan salah satu cara kepemilikan yang dibenarkan syariat. Māl mustafād juga wajib dizakati apabila mencapai niṣāb dan berlalu ḥaul.

Tambahan pula, penetapan kewajiban zakat terhadap pendapatan para profesional antara lain adalah untuk merealisasikan hikmah zakat yaitu mensucikan muzaki dan hartanya serta membantu para mustahik dalam menghadapi kehidupan mereka yang sulit dan mengurangi kemiskinan dan penderitaan di tengah-tengah masyarakat.

Penetapan kewajiban zakat terhadap penghasilan dari profesi juga menunjukkan keadilan dalam ajaran Islam. Dibandingkan dengan petani umpamanya, nasib para profesional jauh lebih baik. Apabila petani saja diwajibkan membayar zakat, maka lebih utama lagi para profesional yang keadaan finansialnya secara umum jauh lebih baik.

Demikian pula, penghasilan melalui keahlian dan profesi semakin hari semakin berkembang, bahkan akan menjadi kegiatan ekonomi yang utama sebagaimana di negara-negara maju. Oleh karena itu penetapan kewajiban zakat terhadapnya merupakan bukti bahwa hukum Islam sangat aspiratif dan responsif terhadap perkembangan zaman.

Kewajiban zakat profesi merupakan hasil ijtihad ulama kontemporer. Hal ini karena banyak profesi yang ada sekarang ini belum dikenal dalam khazanah dan masyarakat Islam dahulu. Penghasilan dari sebuah profesi diqiyaskan dengan harta yang telah ada karena keduanya mempunyai syabah (kemiripan).

b. Ketentuan Zakat Profesi

Ada beberapa ketentuan dalam zakat profesi, yaitu seperti berikut:

  • Pekerjaan atau profesi yang digeluti harus
  • Pendapatan wajib dizakati setelah sempurna dimiliki (al- Milk al-Tām).
  • Mencapai niṣāb. Penghasilan dari hasil suatu profesi itu harus mencapai niṣāb sehingga wajib Niṣāb zakat profesi adalah 85 gram emas murni (Penentuan nisab dengan perbandingan harga emas ini dapat berubah sewaktu- waktu mengikuti perubahan harga emas dunia).
  • Berlalu ḥaul. Zakat profesi wajib dikeluarkan apabila telah berlalu satu ḥaul. Jadi bukan setelah menerima upah atau mendapat gaji setiap
  • Kadar zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5% atau 1/40.

 

  • Zakat profesi dikeluarkan dengan dua model perhitungan:
    1. Model Pendapatan Kotor yaitu dihitung dengan cara Total Pendapatan Kotor x 2,5%.
    2. Model Pendapatan Bersih, dihitung dengan cara Pendapatan Kotor – Kebutuhan Dasar (Basic Needs) x 2,5%.
c. Penghitungan Zakat Profesi

Ada beberapa macam cara orang mendapatkan gaji atau upah atau penghasilan dari profesinya. Ada orang yang mendapat gaji atau upah harian seperti seorang dokter praktek. Ada pula orang yang mendapat gaji atau upah setelah beberapa waktu seperti pengacara, kontraktor, penjahit dan lainnya. Dan ada pula yang mendapat gaji atau upah tiap-tiap pekan atau dua pekan. Dan kebanyakan pekerja itu mendapatkan gajinya tiap-tiap bulan. Cara menghitung niṣāb mereka ada dua:

Pertama: Niṣāb itu dihitung dari pendapatan dan māl mustafād yang langsung diterima. Jadi jika pendapatan itu mencapai niṣāb (yaitu senilai 85 gram emas murni) maka zakat wajib segera dikeluarkan. Sehingga dengan demikian, orang yang gaji atau upahnya lebih rendah dari niṣāb tidak terkena zakat, dan itu berarti banyak pekerja tidak terkena zakat.

Kedua: Niṣāb-nya dihitung dari pendapatan dan māl mustafād yang dikumpulkan selama satu tahun. Ini karena kebanyakan pemerintah itu menggaji pegawainya berdasarkan gaji tahunan yang diberikan tiap-tiap bulan. Oleh karena itu, zakat profesi ini diambil dari pendapatan bersih pegawai dan pekerja profesional lainnya dalam satu tahun sempurna jika pendapatan bersih tersebut mencapai niṣāb yaitu senilai 85 gram emas murni, setelah dikurangi utang dan kebutuhan asasi bagi dirinya dan keluarga yang ditanggungnya.

Jadi sekali lagi ditekankan bahwa zakat yang wajib itu adalah dari pendapatan bersih. Yaitu pendapatan pegawai atau pekerja profesional setelah dikurangi utang dan kebutuhan hidup asasi untuk diri dan keluarganya. Jika pendapatan tersebut masih tersisa dan mencapai niṣāb, maka ia terkena zakat.

Kadar zakat yang harus dikeluarkan adalah 2.5% atau 1/40 sesuai dengan keumuman nash yang mewajibkan 2.5% pada uang.

Contoh perhitungan zakat profesi:

Penerimaan Pak Amin sebagai PNS / ASN

1.    Gaji pokok 4.500.000
2.    Tunjangan jabatan 1.500.000
3.    Berbagai jaminan, yang meliputi: 1.500.00
  1. Jaminan Hari Tua (JHT)
  2. Jaminan Kematian (JKM)
  3. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) d BPJS kesehatan dan tenaga kerja
4.    Tunjangan keluarga 850.000
5.    Tunjangan transportasi & konsumsi 1.950.000
Penerimaan dalam sebulan 11.300.000
Penerimaan dalam setahun: 12 x 135.600.000
Kebutuhan asasi, diukur dari Upah Minimum Propinsi berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL):
Untuk DIY (per orang / bulan) 1.704.608
Kebutuhan asasi (dg 1 istri + 1 anak) 61.365.888
Pendapatan bersih 74.234.112
Nisab: 85 g emas @ Rp730.000 62.050.000

Dapat disimpulkan bahwa Pendapatan bersih lebih besar dari nisab

Perhitungan Zakat Profesi per tahun:

Metode Pendapatan Kotor:

Total Pendapatan Kotor x 2,5%

 

 

3,390,000

 

 

per tahun


   282,500 per bulan
Metode Pendapatan Bersih:

Total Pendapatan Bersih x 2,5% 1,855,853 per tahun

   154,654 per bulan
6. Sewa-Menyewa

a. Hasil Benda yang Disewakan

Hasil penyewaan benda dikenai kewajiban zakat berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah [2]: ayat 267, Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji (Q.S. al-Baqarah [2]: 267)

Ibnu ‘Abbās dalam tafsir Ibnu katsir menyatakan bahwa ayat di atas memerintahkan kepada orang-orang untuk menafkahkan sebagian dari hasil usaha yang dilakukan. Sewa-menyewa termasuk usaha yang dimaksudkan dalam ayat tersebut, sehingga hasil sewa-menyewa juga dikenai kewajiban zakat.

Dasar kewajiban zakat hasil sewa-menyewa juga berupa hadis dari al-Bukhārī dan Aḥmad “Tidak ada kewajiban zakat bagi seorang muslim, untuk kudanya dan budaknya.” (H.R. Aḥmad dan al-Bukhārī)

Dari hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa rumah atau properti lainnya yang disewakan tidak dizakati nilai fisiknya. Namun yang dizakati adalah hasil sewanya.

b. Syarat-syarat Hasil Persewaan yang Dikenai Zakat

Adapun syarat-syarat zakat persewaan sebagai berikut:

  • Hasil sewa mencapai niṣāb (85 gram emas).
  • Telah mencapai satu tahun (ḥaul).
  • Kadar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5%.
c. Contoh Zakat Hasil Penyewaan Aset Tetap (Kamar, Rumah, Kendaraan, dsb)

Pada hakekatnya, usaha persewaan adalah usaha komersial, sehingga sangat mirip dengan zakat perusahaan atau perdagangan. Yang membedakan antara lain adalah bahwa usaha persewaan tidak memiliki barang dagangan, melainkan aset tetap yang disewakan.

Dalam hal seperti ini, idealnya Pengusaha tetap menyiapkan Laporan Keuangan yang setidaknya terdiri dari Neraca dan Laporan Laba Rugi. Dari kedua Laporan tersebut – sebagaimana contoh-contoh sebelumnya, mudah dilakukan perhitungan atas kewajiban zakat. Namun, karena banyak yang belum menyusun Laporan keuangan, maka metode berbasiskan Pendapatan Kotor, dapat langsung diterapkan.

Misal: Pak Ali memiliki 20 kamar kos yang disewakan, baik untuk mahasiswa atau karyawan Sewa kamar per bulan adalah Rp.1.000.000,- Misalkan, karena lokasi yang dimliki Pak Ali sangat strategis, maka 20 kamar yang dimiliki, selalu terisi penuh, sepanjang tahun.

Kalkulasi zakatnya adalah sebagai berikut: Pendapatan penerimaan kos : 20 kamar x 12 bulan x Rp. 1.000.000 = 240.000.000 Nisab: 85 gram emas @ Rp. 730.000

Artinya, nisab terlampaui. Kewajiban zakatnya adalah : 2,5% x Rp. 240.000.000 = 6.000.000

Catatan: Bila Pak Ali dapat menyusun Laporan Keuangan berupa Laporan Laba Rugi dan Neraca, maka beliau dapat menggunakan salah satu dari metode yang sudah dibahas di atas, yakni:

  • Metode Aset Bersih: (Aset Lancar – Utang Lancar) x 2,5%, atau
  • Metode Net Invested Fund (Equity): (Laba tahun berjalan + Modal) x 2,5%

7. Hasil Pengelolaan Sumber Daya Alam (Mā Akhrajnā Lakum min al-Arḍ)

Pertanian

Sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki lapangan pekerjaan sebagai petani. Oleh karena itu, setiap pemilik lahan pertanian memahami cara menentukan zakat hasil pertanian sebagai bagian dari rukun Islam. Hasil pertanian yang harus keluarkan zakat adalah dari jenis makanan pokok seperti jagung, beras, kurma, dan gandum yang biasa disebut dengan zakat hasil pertanian.

Menurut pendapat ulama saat ini, hasil pertanian yang wajib dizakati bukan hanya tanaman pokok, tetapi juga hasil sayur-sayuran seperti cabe, kentang, kubis, tanaman bunga, buah-buahan, dan lain- lain.

Di antara jenis zakat māl yang memiliki tuntunan langsung dari al-Qur’an dan hadis Rasulullah adalah zakat pertanian. Tentang wajibnya mengeluarkan zakat pertanian, para ulama sepakat. Hanya saja ulama fikih berbeda pendapat dalam menggambarkan jenis harta pertanian yang diwajibkan zakatnya, karena berbedanya corak pemikiran mereka. Adapun penetapan zakat perkebunan merupakan hasil ijtihad para ulama.

Dengan melihat pada kenyataan bahwa kondisi pertanian zaman sekarang adalah pertanian agrobisnis bukan pertanian biasa, maka pelaksanaan zakat tanaman (perkebunan) diqiyaskan kepada zakat perdagangan (85 gram emas), dan dalam pelaksanaan penghitungan harus disesuaikan dengan teknik penghitungan yang digariskan oleh hukum Islam yang telah dijabarkan oleh ulama terdahulu yaitu untuk zakat perdagangan diambil dengan jumlah kadar niṣāb 2,5 % dari keseluruhan keuntungan yang diperoleh.

a. Dalil

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (Q.S. al-Baqarah [2]: 267).

Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam- macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (Q.S. al-An’ām [6]: 141).

Telah menceritakan kepada kami Abū Ḥāmid Muḥammad bin Hārūn al-Ḥaḍramī telah menceritakan kepada kami Ibrāhīm bin Sa’īd al-Jauharī telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Amr dari al-Ḥāriṡ bin Nabhān dari Athā’ bin Sāib dari Mūsā bin Ṭalḥah dari Ayahnya [diriwayatkan] bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “tidak ada kewajiban zakat pada sayur-sayuran. (H.R. al-Dāruquṭnī) (Sunan  al-Dāruquṭnī,  editor  ‘Abdullāh  Hāsyim  al-Madanī  (al-Madīnah  al- Munawwarah: al-Faniyah al-Muttaḥidah, 1386 H) V: 163 bab Wujūb al-Zakāh al- Żahab wa al-Waraq wa al-Masyiyah Hadis nomor 1933).

Telah menceritakan kepada kami Sa’īd bin Abī Maryam telah menceritakan kepada kami ‘Abdullāh bin Wahb [diriwayatkan] ia berkata telah mengkhabarkan kepada kami Yūnus bin Yazīd dari az-Zuhrī dari Sālim bin ‘Abdillāh dari Ayahnya dari Nabi SAW beliau bersabda“Pada tanaman yang diairi dengan air hujan, mata air, atau air tanah maka zakatnya sepersepuluh, adapun yang    diairi    dengan    menggunakan    tenaga    maka  zakatnya seperduapuluh”.(H.R. al-Bukhārī) (Al-Bukhārī, Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, kitab Bad’i al-Waḥyi, cet. I, (Kairo: Dār al-  Sya’bī, 1987) II: 155. Hadis nomor 1483).

Telah menceritakan kepada kami Abū Sa’īd bin Abī ‘Amr telah menceritakan kepada kami Abū al-‘Abbās al-Aṣam telah menceritakan kepada kami al- Ḥasan bin ‘Alī bin ‘Affān telah menceritakan kepada kami Yahyā bin Ādam telah menceritakan kepada kami Hafṣ bin Giyāṡ dari Laiṡ dari Mujāhid dari ‘Umar [diriwayatkan] ia berkata, “Tidak ada kewajiban zakat pada sayur-sayuran” (H.R. Al-Baihaqī). (Al-Baihaqī, al-Sunan al-Kubrā, bab Ṣadaqah fī mā Yazra’uhu al-Adamiyyūn, (India: Majelis Dāirah al-Ma’ārif al-Niẓāmiyyah al-Kāinah, 1344 H) IV: 129. Hadis nomor 7732).

Takhrīj al- Ḥadīṡ

Dalam Kitab Jāmi’ al-Uṣūl yang di-taḥqīq oleh ‘Abd al- Qadīr al-Arnaūṭ, dalam taḥqīq-nya dia mengatakan riwayat yang menyatakan bahwa sayuran tidak terkena zakat pertanian juga diriwayatkan  oleh:  al-Ḥākim,  al-Ṭabrānī, dan al-Dāruquṭnī dari Mu’āż, al-Bazzār dan al-Dāruquṭnī dari Ṭalḥah, al-Dāruquṭnī dari ‘Alī, Ibn Jaḥsyin, Anas, dan ‘Āisyah.

Namun sanadnya semuanya lemah. Kemudian al-Arnaūṭ menjelaskan bahwa al-Hādī dan al-Qāsim mewajibkan zakat terhadap sayuran, pendapat ini disetujui oleh Abū  Ḥanīfah, mereka berḥujjah dengan keumuman Q.S. al-Baqarah [2]: 267 dan al-An’ām [6]: 141, serta hadis:

Dari Sālim bin Abdillāh dari Bapaknya (diriwayatkan) dari Nabi SAW beliau bersabda, “Pada tanaman yang diairi dengan air hujan, mata air, atau air tanah maka zakatnya sepersepuluh, adapun yang diairi dengan menggunakan tenaga maka zakatnya seperduapuluh.” (H.R. al-Bukhārī)

Mereka juga mengatakan, bahwa hadis dalam bab ini ḍa’īf, tidak pantas untuk dijadikan ḥujjah sebagai pengkhususan dalil (Ibnu al-Aṡir, Jamī al-Uṣūl ‘an Hadīṡ al-Rasūl, ditaḥqīq ‘Abdul Qadīr al- Arnaūṭ, (Beirut: Maktabah al-Hulwanī, 1970) IV: 618).

Abū Bakr al-Baihaqī mengatakan diriwayatkan dari Umar, ia mengatakan: (Abū Bakr al-Baihaqī, Ma’rifah al-Sunan wa al-Āṡār, (Damaskus: Dār al-Wa’ī, 1991) VI:11).

“Sayur-mayur tidak terkena kewajiban zakat”

Sebagian meriwayatkannya secara marfū’ (bersambung sanadnya sampai Nabi SAW), namun riwayat ini bukanlah pendapat yang kuat, artinya riwayat yang kuat adalah mauqūf (perkataan sahabat).

Ibn al-Hādī al-Ḥanbalī mengatakan tidak ada kewajiban zakat pada sayur-sayuran, sedangkan Abū Ḥanīfah berpendapat sayuran wajib dizakati. Dalam hal ini kami mempunyai hadis- hadis yang menyatakan tidak ada zakat pada sayur-sayuran tetapi semua riwayatnya lemah (Ibnu Hādī al-Ḥanbalī, Tanqīh al-Taḥqīq fī Aḥādis al-Ta’līq (Riyaḍ: Aḍwā’ al- Salaf, 2007), III: 49).

Al-Munāwī mengatakan hadis riwayat al-Dāruquṭnī, dalam sanadnya ada al-Ḥāriṡ Ibnu Nabhān mereka melemahkannya. Hadis riwayat al-Tirmiżī dari Mu’āż, al- Żahabī mengatakan hadisnya munqaṭi’.  Hadis al-Dāruquṭnī dan al-Bazzār dari Mu’āż dan Anas menurut al-Żahabī adalah hadis lemah. Hadis al- Dāruquṭnī dari ‘Alī, ‘Āisyah dan Ibn Jaḥsyin, al-Żahabī mengatakan semua sanadnya lemah (Zainuddin  al-Munāwī,  Faīḍ  al-Qadīr  Syarḥ  al-Jāmi’  al-Ṣagīr (Mesir: Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā, t.t) V: 573).

b. Sektor Pertanian

Sektor pertanian terdiri dari beberapa subsektor, yaitu tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Masing-masing memiliki metode penghitungan (Puskas BAZNAS, Zakatnomics: Sektor Pertanian di Indonesia (Jakarta: Puskas BAZNAS, 2019) hal. 37).

Dalil Wajibnya Zakat Sektor Pertanian

Beberapa dalil yang mendukung hal ini adalah:

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 267).

Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin).” (Q.S. al-An’ām [6]: 141).

Tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq.” (H.R. al- Bukhārī). Hadis nomor 1355.

Dalil yang menunjukkan besarnya zakat pertanian adalah hadis dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah SAW bersabda, “Tanaman yang diairi dengan air hujan atau dengan mata air atau dengan air tadah hujan, maka dikenai zakat 1/10 (10%). Sedangkan tanaman yang diairi dengan mengeluarkan biaya, maka dikenai zakat 1/20 (5%).” (H.R. al-Bukhārī). Hadis nomor 1483.

Menurut ulama Ḥanābilah, jenis harta pertanian wajib zakat adalah semua yang kering, tetap, dan bisa ditimbang, sehingga meliputi gandum, sejenis gandum, kurma, anggur, padi, jagung, kacang tanah, kacang kedele, bawang, terong, lobak, ketimun, dan labu (Abū Muḥammad Muwaffiq al-Dīn ‘Abdullāh Ibnu Qudāmah al-Maqdisī, al- Kāfī fī Fiqḥ Imām Aḥmad bin Ḥanbal, (Libanon: Dār al-Fikr, 1992) I: 339).

Sementara pendapat ulama Ḥanāfiyyah, jenis harta pertanian wajib zakat adalah semua hasil tanaman yang dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan dari penanamannya (Imām ‘Alā al-Dīn Abī Bakr Ibnu Mas’ūd al-Kāsānī, Badāi’ al-Ṣanāi’ fī Tartīb al-Syarāi’ (Libanon: Dār al-Fikr, t.t.) II: 59).

Menggunakan pendekatan ijmālī, yakni segala macam harta yang dimiliki dan telah memenuhi persyaratan zakat. Maka semua jenis harta yang belum ada rujukan konkritnya pada zaman Rasulullah SAW, tetapi karena perkembangan ekonomi menjadi benda yang bernilai, dapat menjadi objek zakat. Ketentuan batas niṣāb dan besarnya zakat yang harus dikeluarkan ditetapkan berdasarkan qiyas, kaidah-kaidah fikih, ataupun maqaṣid syarī’ah.

Mengutip tulisan Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī, mazhab yang paling kuat dan menjaga serta melindungi orang miskin adalah pendapat Abū Ḥanīfah dan ini berpegang kepada keumuman dalil (Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al- Ma’rifah, 1379 H) III: 350).

  • Ketentuan Niṣāb, Kadar Zakat, dan Waktu Mengeluarkan

Niṣāb pertanian adalah lima wasaq= 300 ṣā’; 1 ṣā’= 4 mud setara dengan 2,5 kg, sehingga 5 wasaq sama dengan 300 ṣā’ x 2,5= 750 kg beras, kadar zakatnya 5 – 10 % (tergantung sistem pengairan dan perawatan lainnya) dan waktu mengeluarkannya setiap panen) (Waḥbah al-Zuḥailī, Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.) II: 910-911, PMA No. 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitri serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif, Pasal 14).

  • Zakat Tanaman Pangan

Tanaman pangan terbagi menjadi:

  1. Serelalia (contohnya padi, jagung, gandum)
  2. Biji-bijian (contohnya kedelai, kacang tanah, kacang hijau)
  3. Umbi-umbian (contohnya ubi kayu, ubi jalar, kentang) (Puskas BAZNAS, Zakatnomics: Sektor Pertanian di Indonesia, hal. 38).

Zakat untuk tanaman pangan dikeluarkan setiap kali panen, sebagaimana firman Allah SWT: Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin)…(al-An’ām [6]: 141)

Besaran niṣāb pertanian adalah 750 kg beras, misalnya harga beras Rp. 10.000/ kg x 750 = Rp. 7.500.000 nilai yang harus dibayarkan sebesar 5 – 10 %.

Niṣāb zakat hasil pertanian adalah 5 wasaq, jika hasil pertanian tersebut termasuk makanan pokok seperti beras, gandum, jagung, kurma dll. Sedangkan jika hasil pertanian itu selain makanan pokok, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daun, bunga dll maka niṣābnya disetarakan dengan harga niṣāb dari makanan pokok yang paling umum di daerah (negeri) tersebut.

  • Zakat Tanaman Hortikultura

Jenis dari tanaman hortikultura adalah tanaman buah, tanaman sayuran, tanaman biofarmaka, dan tanaman hias. Jenis tanaman ini sama dengan tanaman pangan untuk makanan pokok, sehingga metode penghitungannya sama.

Sesuai firman Allah SWT dalam Q.S. al-An’ām [6]: 141: “Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin).

Penyebutan buah zaitun dan delima merupakan jenis tanaman hortikultura. Oleh karena itu, seorang petani buah- buahan dapat memproduksi buah-buahan nilainya setara dengan 5 wasaq beras, maka petani tersebut wajib mengeluarkan zakat 5 – 10 % (PMA No. 52 Tahun 2014, Pasal 14).

2. Perkebunan

Contoh tanaman perkebunan adalah kelapa sawit, kopi, coklat, teh, kapas, karet, lada, cengkeh, tanaman perkebunan ini memiliki nilai jual yang cukup tinggi sehingga memiliki potensi zakat yang besar. Menurut ulama kontemporer zakat perkebunan seperti kelapa sawit dan lain-lain berkisar antara dua pendapat:

  1. Ada yang menganalogikan dengan zakat pertanian
  2. Ada yang menganalogikan dengan zakat perdagangan

Pendapat yang menganalogikan dengan zakat pertanian berarti zakat langsung ditunaikan saat memetik atau memanen dan cukup niṣāb (750 kg). Kadar zakatnya 5 – 10 % (tergantung sistem pengairan dan perawatan lainnya). Sebagai contoh Bapak Hasan memanen kelapa sawit seluas 4 hektar ada sejumlah 20.000 kg. asumsi harga Rp. 3000/kg, maka Bapak Hasan menerima uang hasil penjualan kelapa sawit 20.000 kg x Rp. 3000 = Rp. 60.000.000. Niṣāb zakat pertanian Rp.10.000 x 750 kg = Rp. 7.500.000.

Dengan demikian hasil pertanian yang diperoleh oleh Bapak Adi telah melebihi niṣāb zakat pertanian, sehingga wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 5% karena adanya sistem pengairan dan adanya biaya upah dan pupuk yang digunakan. Adapun zakat yang mesti dikeluarkannya ialah Rp

  • x 5% = Rp 3.000.000. Apabila zakat yang dikeluarkan berupa kelapa sawit maka zakat yang harus dikeluarkan 20.000 kg x 5% = 1000 kg.

Pendapat yang menganalogikan dengan zakat perdagangan karena umumnya usaha kebun kelapa sawit di Indonesia dalam bentuk perusahaan/perdagangan. Niṣābnya 85 gram emas dan kadar persentase 2,5%. Dalam zakat perdagangan dikenal adanya ḥaul jika perusahaan/perdagangan kelapa sawit cukup niṣāb wajib zakat, demikian juga kalau petani ikut perdagangan dengan menggunakan kaidah ḥaul dan cukup niṣāb. Sebagaimana dinyatakan dalam Hadis Nabi SAW: Samurah bin Jundub (diriwayatkan) ia berkata ammā ba’du maka sungguh Rasulullah SAW memerintahkan kami agar mengeluarkan zakat dari semua yang kami persiapkan untuk berdagang.” (H.R. Abū Dāwud).

Objek zakat perkebunan adalah seluruh hasil dari perkebunan setelah dipotong biaya, misalnya:

  1. Biaya produksi, seperti benih, pupuk dan lain-lain
  2. Biaya sewa tanah
  3. Biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

Contoh: Usaha PT. Kelapa sawit  Bapak Hasan   selama setahun

  1. Pendapatan selama setahun: Rp.160.000.000,-, b. Membayar utang, upah, biaya pupuk, dan kebutuhan hidup: Rp. 90.000.000,- , pendapatan bersih, Rp.   160.000.000   –   Rp.   90.000.000   =   Rp. 70.000.000. Harga emas 24 karat (tertanggal 6 Februari 2020 seharga Rp. 690.000/gram). Niṣāb zakat perdagangan 85 gram emas, jumlah harta wajib zakat Rp. 690.000 x 85gram = Rp. 58.650.000. Pendapatan Bapak Hasan sudah melebihi niṣāb, zakat yang harus ditunaikan Rp 70.000.000 x 2,5 % = Rp. 1.750.000. (Puskas BAZNAS, Zakatnomics: Sektor Pertanian di Indonesia, mengutip dari Arif Mufraini, Akuntasi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006) hal. 46-47).

Apabila tidak cukup niṣāb maka tidak ada kewajiban zakat dan sangat dianjurkan untuk bersedekah atau berInfaq sebab hidup kita akan lebih berkah dan bermanfaat.

3. Perikanan

Objek zakat:

  1. Perikanan budidaya (pengembangbiakan organisme air, seperti udang, kerang, tumbuhan laut seperti rumput laut)
  2. Perikanan tangkap (usaha penangkapan ikan dan organisme air lainnya di alam liar, seperti di laut danau, sungai dan lain- lain) (Puskas BAZNAS, Zakatnomics: Sektor Pertanian di Indonesia, hal. 51- 52).

Objek zakat di masa perekonomian modern sekarang ini, tidak hanya masuk pada suatu bagian tertentu saja misalnya pada objek zakat pertanian saja, atau perdagangan, atau peternakan. Akan tetapi adakalanya terjadi tumpang tindih antara yang satu dengan lainnya. Sebagai contoh perusahaan perikanan yang hasilnya sangat banyak, digarap oleh perusahaan dengan peralatan modern, wajib terkena zakat yang dianalogikan dengan barang tambang, hasil pertanian dan lain-lain. Abū ‘Ubaid meriwayatkan dari Yūnus ‘Ubaid, “Umar pernah mengirim surat kepada amilnya di Oman agar ia tidak memungut apapun dari ikan yang kurang harganya dari 200 dirham (Badan Amil Zakat Nasional, Fikih Zakat Kontekstual Indonesia (Jakarta: Baznaz, 2018), hal. 172, Yusuf al-Qardawi, Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat berdasarkan Qur’an dan Hadis, penterjemah Salman Harus, Didin Hafidhudin, Hasanudin (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2011) hal. 432).

Maka hasil perikanan, jika diniatkan untuk diperdagangkan maka zakatnya dianalogikan kepada zakat perdagangan yaitu niṣābnya 85 gram emas, dengan kadar 2,5 % (Badan Amil Zakat Nasional, Fikih Zakat Kontekstual Indonesia, hal. 173, lihat PMA No. 52 Tahun 2014 Pasal 19 ayat (1), (2), ayat (3). Ketentuan ini berlaku untuk zakat pertanian budidaya dan tangkap. Terkait waktu pengeluaran zakat yakni pada saat panen (PMA No. 52 Tahun 2014 Pasal 20).

Contoh, petani udang windu mampu memproduksi per hektar dengan pendapatan kotor sebesar Rp. 1.000.000.000 pengeluaran biaya Rp. 400.000.000, petani tersebut langsung dikenakan zakat sebesar 2,5 %, karena pendapatannya sudah melampaui niṣāb zakat perniagaan sebesar Rp. 58.650.000. (harga emas 85 gram pada tanggal 6 Februari 2020, yaitu Rp. 690.000) Zakat yang dikeluarkan sebesar (1.000.000.000 – 400.000.000) x 2,5 % = Rp. 15.000.000. dikeluarkan

pada saat panen. Namun apabila dianalogikan dengan zakat pertanian, maka apabila petani ikan panen ikan seharga Rp. 30.000.000. kadarnya 5 % setelah dikurangi operasional. Karena sudah melebihi niṣāb tanaman yakni Rp. 7.500.000. zakat yang dikeluarkan saat panen, Rp.30.000.000 X 5%= Rp. Rp. 1.500.000.

4. Kehutanan

Di antara komoditas kehutanan adalah kayu gaharu, damar, rotan, bamboo, jati, pinus dan madu. Jika dikategorikan komoditas kehutanan seperti kayu dan non kayu sama dengan zakat perniagaan, maka zakat dikeluarkan setelah mencapai niṣāb 85 gram emas, telah mencapai ḥaul, kadarnya 2,5 %, yaitu penghitungannya aset lancar dikurangi kewajiban jangka pendek (Puskas BAZNAS, Zakatnomics: Sektor Pertanian di Indonesia, hal. 53). Sementara menurut PMA No. 52 Tahun 2014 Pasal 14 zakat kehutanan dikategorikan dengan zakat pertanian, yaitu niṣābnya 750 kg beras, kadar zakatnya 5 – 10 %, ditunaikan pada saat panen.

5. Pertambangan

Hasil tambang (Ma’din) yaitu sesuatu benda yang terdapat dalam perut bumi (selain air) dan memiliki nilai ekonomis. Ma’din dapat dibagi menjadi tiga macam:

  1. Benda padat yang dapat dibentuk (dicairkan dan diolah) seperti emas, perak, alumunium, timah, tembaga, besi, dan lain-lain (Lazis Muhammadiyah, Pedoman Zakat Praktis, hal. 26; MTT PP Muhammadiyah, al-Amwāl f ī al-Islām, hal. 26).
  2. Benda padat yang tidak dapat dibentuk seperti kapur, zionit, marmer, giok, zamrud, batu bara, dan lain-lain (Ibid).
  3. Benda cair seperti minyak (Ibid).

Benda tambang berupa emas atau perak, niṣāb dan kadar zakatnya adalah sama seperti emas dan perak. Benda tambang selain emas dan perak yang berupa benda padat seperti timah, tembaga, aluminium, dan lain sebagainya ataupun yang berupa benda cair seperti minyak bumi, air raksa dan lain sebagainya, niṣāb dan kadar zakatnya adalah senilai harga 85 gram emas murni dan kadar zakatnya adalah 2,5% (Majelis Tarjih dan Tajdid, al-Amwāl fī al-Islām, hal. 20).

Apabila pertambangan tersebut di atas dijadikan suatu perusahaan, maka zakatnya dilakukan sebagaimana yang berlaku dalam perdagangan dan perusahaan (Ibid).

6. Rikaz

Rikaz secara bahasa berarti sesuatu yang terpendam di dalam bumi berupa barang tambang atau harta. Secara syar’i, rikaz berarti harta zaman jahiliyah berasal dari non muslim yang terpendam yang diambil dengan tidak disengaja tanpa bersusah diri untuk menggali, baik yang terpendam berupa emas, perak atau harta lainnya. Dengan kata lain rikaz adalah harta yang ditemukan dari dalam perut bumi merupakan peningalan dari umat sebelumnya yang tidak diketahui secara pasti. Bedanya dengan barang tambang ialah bahwa rikaz ialah ketika ditemukan dalam keadaan barang jadi dan tidak memerlukan tenaga untuk mengelolanya, sedangkan pada barang tambang dikeluarkan dari perut bumi dalam bentuk belum jadi dengan menggunakan tenaga yang maksimal. surat al-Baqarah yang secara jelas menyebutkan apa-apa yang kami keluarkan dari dalam bumi (Waḥbah al-Zuhailī, Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Posdakarya, 1995) hal. 46).

Dalil wajibnya zakat rikaz

Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu” (Q.S. al  Baqarah [2]: 267).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Barang tambang (ma’din) adalah harta yang terbuang-buang dan harta karun (rikaz) dizakati sebesar 1/5 (20%).” (H.R. al- Bukhārī).

Zakat Rikaz (barang temuan)

Zakat rikaz wajib dikeluarkan, dan tidak disyaratkan baik ḥaul maupun niṣāb. Kadar zakatnya adalah 20 % dari jumlah harta yang ditemukan. Jadi setiap mendapatkan harta rikaz berapapun besarnya, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 20 % atau 1/5 dari besar total harta tersebut (Badan Amil Zakat Nasional, Fikih Zakat Kontekstual Indonesia, hal. 220). Namun, karena di Indonesia, menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyatakan, apabila barang temuan tersebut diduga berkaitan dengan benda cagar budaya, maka penemu harus melaporkannya kepada negara. Seperti diatur dalam Pasal 23 (1) UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya:

Setiap orang yang menemukan benda yang diduga Benda Cagar Budaya, bangunan yang diduga Bangunan Cagar Budaya, struktur yang diduga Struktur Cagar Budaya, dan/atau lokasi yang diduga Situs Cagar Budaya wajib melaporkannya kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi terkait paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditemukannya.

Sementara Pasal 22 (1) mengatur tentang kompensasi bagi penemu harta rikaz:

Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya berhak memperoleh Kompensasi apabila telah melakukan kewajibannya melindungi Cagar Budaya.

Oleh karena itu setelah dilakukan penelitian dan ternyata benda yang ditemukan tersebut ditetapkan sebagai benda cagar budaya, maka penemu berhak mendapatkan kompensasi/ganti rugi atas temuannya. Maka dari hasil kompensasi yang diterima oleh penemu tadi haruslah dikeluarkan zakat rikaznya, yaitu 20 % dari total kompensasi yang diterima. Misalnya jumlah kompensasinya Rp. 6.000.000, maka zakatnya Rp. 6.000.000. x 20% = Rp. 1.200.000.

Harta Simpanan (al- Żahab wa al-Fiḍḍah)

Harta simpanan yaitu harta yang tidak digunakan sebagai modal usaha. Harta tersebut didiamkan menganggur. Harta simpanan pada pembahasan ini meliputi simpanan emas dan perak, simpanan uang, dan simpanan tanah dan bangunan.

1. Zakat Simpanan Emas dan Perak

Dalil wajibnya zakat simpanan emas dan perak, yaitu firman Allah SWT:“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (Q.S. al- Taubah [9]: 34).

Maksud ay at ini adalah barang siapa menyimpan emas dan perak tidak membayar zakatnya, akan mendapatkan siksa yang pedih di akhirat kelak. Menumpuk emas dan perak haram hukumnya jika tidak ditunaikan zakatnya. Menyimpan emas dan perak tidak haram jika ditunaikan zakatnya (Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah, wa al-Syrī’ah, al-Manhaj, (Dimasyq: Dār al-Fikr, 1418) X: 192).

Dalil wajibnya zakat simpanan emas dan perak juga terdapat dalam hadis Nabi SAW, yaitu: Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa memiliki emas atau perak tidak mengeluarkan   zakatnya,   pada   hari   kiamat   nanti   akan  disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskannya dalam api neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali lempengan tersebut dingin akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka.” (H.R. Muslim) Muslim, Saḥīḥ Muslim, (Beirut: Dār al-Jīl, t.t.) III: 70, hadis nomor 2337).

Adanya ancaman bagi penyimpan emas dan perak yang tidak membayar zakat menujukkan wajibnya zakat atas simpanan emas dan perak. Kewajiban zakat atas simpanan emas dan perak sudah menjadi ijma’ ulama.83

Niṣāb zakat emas sebesar 20 miṡqāl atau 20 dinar. Dinar merupakan koin emas yang beredar pada masa Nabi yang berasal dari Kerajaan Romawi Bizantium. 1 dinar beratnya 4,25 gram. Dengan demikian, niṣāb emas yaitu 20 x 4,25= 85 gram. Zakat simpanan emas yang wajib dikeluarkan sebesar 2,5% dari simpanan emas yang ada.

Niṣāb zakat perak sebesar 200 dirham. Dirham adalah koin perak yang beredar pada masa Nabi yang berasal dari Kerajaan Persia. Berat 1 koin dirham yaitu 2,975 gram. Dengan demikian, niṣāb simpanan perak yaitu: 200 x 2,975 = 595 gram. Zakat simpanan perak yang wajib dikeluarkan sebesar 2,5 % dari seluruh simpanan emas yang ada. 84

Yūsuf al-Qaraḍāwī dalam kesimpulannya tentang zakat emas dan perak menyatakan:

  1. Barang siapa memiliki kekayaan emas atau perak untuk simpanan, dia wajib mengeluarkan zakatnya. Karena emas dan perak merupakan sumber untuk pengembangan
  2. Jika emas dan perak digunakan seseorang maka dilihat penggunaannya. Jika digunakan untuk hal hal yang terlarang,

83 Waḥbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū (Beirut: Dār al-Fikr, 2004), III: 1821.

84 Yūsuf al-Qaraḍāwī, Hukum Zakat, alih bahasa Salman Harun dkk, (Bogor: Litera Antar Nusa, 2020) hal. 259.

seperti digunakan untuk piala, hiasan dinding, perhiasan laki- laki, seperti kalung dan gelang, maka terkena zakat.

  1. Termasuk kategori pemakaian terlarang yaitu penggunaan emas secara berlebihan oleh perempuan. Emas yang digunanakan secara berlebihan oleh perempuan juga terkena zakat. Ukuran berlebihan berdasarkan kebiasaan
  2. Perhiasan emas dan perak yang mubah, seperti perhiasan perempuan yang tidak berlebihan serta cincin perak laki-laki, tidak terkena zakat karena tidak tergolong harta berkembang, melainkan sebagai perhiasan yang menjadi kebutuhan manusia yang dibolehkan dalam syariat
  3. Yang wajib dikeluarkan zakatnya dari perhiasan atau tempat- tempat hiasan adalah 2,5 % dari nilai perhiasan yang dikeluarkan dalam bentuk
  4. Niṣāb zakat perhiasan adalah senilai 85 gram emas Yang menjadi ukuran adalah nilai perhiasannya, bukan ukurannya (Yūsuf al-Qaraḍāwī, Hukum Zakat, 296).

Jika seseorang memiliki simpanan emas dan perak, menurut jumhur ulama selain Syafī’iyyah, semua simpanan tersebut digabung untuk dikeluarkan zakatnya. Menurut Wahbah al-Zuhaili, pendapat ini yang lebih rājiḥ (Waḥbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū, (Beirut: Dār al-Fikr, 2004) III: 1821).

2. Zakat Uang

Pada pembahasan zakat simpanan emas dan perak, telah dijelaskan, bahwa emas dan perak pada masa Nabi merupakan koin mata uang. Uang berfungsi sebagai alat tukar, pengukur harga, dan alat penyimpanan kekayaan. Fungsi emas dan perak sebagai mata uang sekarang sudah digantikan oleh uang kertas yang berlaku di setiap negara. Dengan demikian, simpanan uang yang dimiliki seorang    muslim juga terkena zakat jika telah memenuhi persyaratannya.

Syarat-syarat simpanan uang yang terkena zakat adalah sebagai berikut:

  1. Mencapai niṣāb, yaitu senilai 85 gram emas
  2. Berlalu 1 tahun (ḥaul).
  3. Milik yang
  4. Lebih dari kebutuhan
  5. Bebas dari utang yang mengakibatkan kurang dari niṣāb.(Tim Penulis Fikih Zakat Kontekstual Indonesia, Fikih Zakat Kontekstual Indonesia, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional, 2018), hal. 108).

Simpanan uang yang dimaksud di sini adalah uang yang disimpan sendiri, atau disimpan di bank dalam bentuk giro, tabungan, deposito, atau simpanan lainnya. Jika uang disimpan di bank konvensional, maka yang dihitung hanya simpanan pokoknya, bunga tidak dihitung sebagai harta terkena zakat karena tergolong riba. Bunga yang diperoleh dari hasil simpanan di bank konvensional digunakan untuk kepentingan sosial seluruhnya. Jika uang disimpan di bank syariah, maka semua uang simpanan, baik simpanan pokok, bagi hasil, atau bonus yang diterima, terkena zakat.

3. Zakat Simpanan Tanah dan atau Bangunan

Tanah yang dibeli untuk ditanami tanaman atau buah-buahan tidak terkena zakat. Yang terkena zakat adalah tanaman atau buah- buahan yang dihasilkannya. Jika tanah disewakan, maka yang terkena zakat adalah hasil dari persewaan tanah tersebut, bukan nilai dari tanahnya.

Bangunan yang dibeli atau dibangun untuk digunakan sendiri tidak terkena zakat karena tidak tergolong harta berkembang. Jika bangunan disewakan, maka yang terkena zakat adalah hasil dari persewaan bangunan tersebut. Nilai dari bangunannya sendiri tidak terkena zakat.

Jika tanah atau bangunan dibeli sebagai simpanan untuk dijual suatu saat nanti maka status dari tanah tersebut sama dengan simpanan emas dan perak. Simpanan tanah atau bangunan terkena zakat jika nilainya minimal senilai 85 gram emas murni. Zakat wajib dikeluarkan setiap tahun sebesar 2,5 % dari nilai tanah atau bangunan tersebut.

4. Penggabungan Zakat Seluruh Harta Simpanan

Seluruh harta simpanan yang dimiliki seorang muslim, baik berupa emas, perak, uang, tanah, dan bangunan, zakatnya digabungkan. Jika seseorang memiliki simpanan uang tidak sampai niṣāb, tetapi jika uang tersebut digabung dengan simpanan lain, seperti emas misalnya, mencapai niṣāb, maka wajib dikeluarkan zakat dari seluruh harta simpanan yang dimiliki sebesar 2,5%, sebagaimana pendapat jumhur fuqahā’, selain Ḥanāfiyyah.

Catatan. Besar zakat 2,5 % ini jika ḥaul menggunakan tahun Kamariyah. Jika menggunakan tahun Miladiyah, maka besar zakat yaitu:

2,5 % = …….%

354 hari 365 hari

2,5 % x 365: 354 = 2,5778 %

 

BAB V : ZAKAT FITRI, INFAQ DAN SHADAQAH

A. Zakat Fitri
1. Pengertian Zakat Fitri

Zakāt  al-Fiṭr  atau  Ṣadaqat  al-Fiṭr,  disebut  Zakat  Fitri  karena merupakan  zakat  yang  wajib  dibayarkan  karena  berbuka   (al-fiṭr) untuk mengakhiri puasa Ramaḍān, sebagaimana hari raya yang menandai berakhirnya puasa Ramaḍān. disebut Idul Fitri. Disebut juga  Ṣadaqat  al-Fiṭr  karena  perkataan  ṣadaqah  dalam  terminologi syari’ah selalu dipakai dalam pengertian zakat.

2. Dalil Wajibnya Membayar Zakat Fitri

Zakat fitri diwajibkan pada tahun ke-2 Hijriyah, yaitu pada tahun diwajibkannya puasa Ramaḍān, dan sebelum diwajibkannya zakat māl. Zakat fitri wajib dilaksanakan berdasarkan dalil-dalil berikut.

  1. Hadis Ibnu ‘Umar RA; Dari Ibnu ‘Umar (diriwayatkan) ia berkata: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri satu ṣā’ dari kurma atau ṣā’ dari gandum bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki- laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat (‘ Īd) “. (H.R. al-Bukhārī).
  2. Hadis Abdullāh bin ‘Umar Dari Abdullāh bin ‘Umar (diriwayatkan), bahwa Rasulullah SAW telah mewajibkan Zakat Fitri di bulan Ramaḍān atas setiap jiwa dari kaum muslimin, baik orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki atau pun perempuan, anak kecil maupun dewasa, yaitu berupa satu ṣā’ kurma atau satu ṣā’ gandum. (H.R. Muslim).

Kedua hadis ini dengan tegas menyatakan bahwa zakat fitri adalah wajib atas setiap orang muslim besar atau kecil, laki-laki maupun wanita.

3. Harta yang Dibayarkan untuk Zakat dan Kadarnya
a. Makanan Pokok dan Kadarnya

Hadis riwayat al-Bukhārī dan Muslim menjelaskan. Dari Abū Sa’īd al-Khudrī RA (diriwayatkan) ia berkata: “Kami mengeluarkan zakat fitri satu ṣā’ dari makanan atau satu ṣā’ dari gandum atau satu ṣā’ dari kurma atau satu ṣā’ dari keju (mentega) atau satu ṣā’ dari kismis (anggur kering) “. (H.R. al- Bukhārī dan Muslim).

Hadis di atas menjelaskan bahwa kadar zakat fitri yang harus dikeluarkan untuk tiap-tiap kepala adalah minimal satu ṣā’ dari makanan pokok, seperti; gandum, kurma atau dari kismis (anggur kering) atau uang seharga makanan tersebut.

Satu ṣā’ sama dengan 1/6 liter Mesir, sama dengan 2167 gram (hal itu berdasarkan timbangan dengan gandum). Apabila di suatu daerah makanan pokoknya lebih berat daripada gandum, seperti beras, misalnya maka wajib untuk menambah dari ukuran tersebut, maka untuk kehati-hatian digenapkan menjadi ± 2,5 kg.

b. Harga Makanan Pokok

Dari hadis pada sub 2.b. dan pada sub 3.a. dapat dipahami bahwa kadar zakat fitri yang harus dikeluarkan untuk tiap-tiap orang adalah satu ṣā’ (± 2,5 kg) dari bahan makanan pokok. Contoh: Harga beras di pasar rata-rata Rp. 11.500,- per kg, maka zakat fitri yang harus dibayar per orang = 2,5 kg x Rp. 11.500,- = Rp. Rp. 28.750,-. Apabila dalam sebuah rumah tangga jumlah nya 6 orang, maka zakat fitri yang harus dibayar adalah 6 x Rp.28.750,- = Rp. 172.500.

4. Orang yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitri

Wajib membayar zakat fitri bagi orang yang mampu membayarnya atau, menurut ungkapan Putusan Tarjih, yang berkelapangan rizki, baik laki-laki, perempuan, dewasa anak-anak. dasarnya adalah pertama firman Allah SWT: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya (Q.S. al-Ṭalaq [65]: 7).

Ayat ini merupakan perintah umum kepada orang yang berkemampuan untuk mengeluarkan sebagian dari hartanya, termasuk mengeluarkan zakat. Dari ayat ini dipahami bahwa zakat fitri diwajibkan atas orang yang berkelapangan rizki (mampu).

Orang yang berkelapangan dalam mengeluarkan zakat fitri adalah orang yang pada malam hari raya idul fitri memiliki kelebihan dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang ditanggungnya. Semua mereka yang tidak mempunyai nafkah sendiri melainkan ditanggung oleh orang lain seperti anak kecil yang ditanggung ayahnya, orang lanjut usia yang ditanggung oleh kerabatnya atau wanita yang ditanggung oleh suaminya, zakat fitrinya dibayar oleh orang yang menanggung nafkahnya.

Anak yatim piatu dan anak miskin di panti asuhan tidak memiliki harta kekayaan dan mereka di tanggung nafkahnya oleh panti asuhan. Panti asuhan sendiri tidak memiliki kekayaan sendiri, karena biaya yang diperolehnya hanyalah sumbangan dari masyarakat, bahkan tidak jarang pula panti asuhan merasa cukup berat menanggung pembiayaan anak asuhnya. Atas dasar itu maka anak- anak yatim piatu atau miskin di panti asuhan itu tidak wajib dibayarkan zakat fitrinya.

5. Orang yang Berhak Menerima Zakat Fitri

Q.S. al-Taubah [9]: 60 merupakan dalil tentang delapan aṣnāf yang berhak menerima zakat māl. Berbeda dengan zakat māl, zakat fitri hanya disalurkan kepada fakir dan miskin. Dasar penetapan bahwa zakat fitri hanya disalurkan kepada fakir miskin saja adalah hadis Ibnu ‘Abbās yang menyatakan bahwa zakat fitri itu diwajibkan selain sebagai pencucian terhadap orang yang berpuasa juga sebagai

santunan terhadap orang miskin. Hadis yang dimaksud adalah: Dari Ibnu ‘Abbās (diriwayatkan), ia berkata; Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkataan yang sia-ia dan kotor serta untuk memberi makan kepada orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat ‘Īd, maka itu adalah zakat diterima, dan barang siapa yang menunaikannya sesudah shalat ‘Īd, maka itu hanyalah sekedar sedekah. (H.R. Abū Dāwud, Ibnu Mājah dan al-Ḥākim)

6. Waktu Pelaksanaan Zakat Fitri
a. Waktu Pembayaran atau Penarikan

Zakat fitri mulai dikeluarkan (dibayarkan) pada bulan Ramaḍān dan selambat-lambatnya sebelum salat Idul Fitri tanggal satu Syawwāl. sebagaimana disebutkan dalam hadis Abdullāh Ibnu ‘Umar, Dari Abdullāh bin ‘Umar (diriwayatkan) bahwa Rasulullah SAW telah mewajibkan Zakat Fitri di bulan Ramaḍān atas setiap jiwa dari kaum muslimin, baik orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki atau pun perempuan, anak kecil maupun dewasa, yaitu berupa satu ṣā’ kurma atau satu ṣā’ gandum. (H.R. Muslim).

Konsekuensi penegasan bahwa zakat fitri wajib dikeluarkan pada saat terbenam matahari hari terakhir Ramaḍān adalah bahwa orang muslim yang meninggal sebelum saat tersebut tidak wajib membayar zakat fitri karena ketika ia meninggal zakat fitri belum jatuh tempo. Begitu juga anak yang lahir sesudah terbenam matahari tidak wajib dibayarkan zakat Fitri karena ia lahir setelah zakat fitri jatuh tempo. Sebaliknya orang yang meninggal sesudah terbenamnya matahari akhir Ramaḍān dan orang masuk Islam atau anak yang lahir sebelum terbenamnya matahari hari terakhir Ramaḍān wajib dikeluarkan zakat fitrinya.

Pembayaran zakat fitri boleh dimajukan sebelum terbenamnya matahari akhir Ramaḍān. Dasarnya adalah hadis Nabi SAW riwayat Abū Dāwud, Ibnu Mājah dan al-Ḥākim dari Ibnu ‘Abbās yang terdapat pada butir no. 5 di atas yang menyatakan bahwa zakat fitri dikeluarkan antara lain dengan maksud menyantuni orang miskin. Selain itu didasarkan pula kepada hadis yang membolehkan penyegeraan pembayaran zakat secara umum, yaitu, Dari ‘Alī (diriwayatkan) bahwa al-‘Abbās bertanya kepada Nabi SAW mengenai menyegerakan zakat sebelum wajib atas mereka? Kemudian beliau memberikan rukhṣah baginya dalam hal tersebut. (H.R. Lima ahli hadis selain al-Nasā’ī).

Pemberian waktu yang lebih panjang dalam pembayaran zakat fitri sebelum waktu akhir Ramaḍān akan lebih memudahkan bagi masyarakat. Terutama apabila pengumpulan zakat fitri itu dilakukan oleh sebuah panitia yang mencakup wilayah pengumpulan yang luas sehingga pengumpulannya dan pendistribusiannya memerlukan waktu yang lama.

Adapun mengenai batas akhir pembayaran zakat fitri itu adalah sebelum mengerjakan salat ‘Īd, sesuai dengan ketentuan hadis yang dikutip di atas. Apabila zakat fitri dikeluarkan sesudah salat ‘Īd, maka pembayaran itu tidak dipandang sebagai zakat fitri, melainkan hanya sebagai sedekah biasa, dan orang yang melakukan demikian belum menunaikan kewajiban zakat fitrinya dan dipandang sebagai orang yang berdosa.

b. Waktu Pembagian

Dari Hadis Ibnu ‘Abbās yang terdapat pada butir no. 5 di atas dapat diperoleh kejelasan bahwa zakat fitri dipandang sah apabila telah diberikan kepada fakir miskin sebelum shalat Idul Fitri dilakukan. Namun adalah suatu hal yang tidak mustahil terjadi, setelah zakat fitri disalurkan kepada semua fakir miskin di daerah penarikan, ternyata masih terdapat kelebihan. Tetapi untuk menyalurkan kelebihan zakat fitri tersebut kepada fakir miskin di daerah lain sebelum dilaksanakan shalat Idul Fitri sering kali menemui kesulitan, misalnya karena sangat terbatasnya waktu untuk menyalurkan, jarak yang jauh sementara sarana angkutan (transportasi) tidak tersedia secara cukup dan lain-lain kesulitan yang dihadapi, mengakibatkan panitia tidak mampu menyampaikan zakat fitri kepada fakir miskin di daerah lain tersebut sebelum sahalat Idul Fitri. Barulah setelah shalat Idul Fitri dilaksanakan, zakat fitri dapat dibagikan.

Dalam melaksanakan syari’at (agama), Allah tidak menghendaki hamba-hamba-Nya terjebak dalam suatu kesulitan yang di luar batas kemampuannya. Allah SWT berfirman: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 185).

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 286).

Dalam kaidah fiqh disebutkan: “Suatu kesulitan menarik adanya kemudahan”.

Atas dasar dalil-dalil dan kaidah di atas, jika tertundanya pembagian zakat fitri kepada fakir miskin sampai dengan dilaksanakan shalat Idul Fitri disebabkan oleh kesulitan yang tidak mampu ditanggulangi panitia maka zakat fitri yang dikeluarkan oleh orang yang wajib mengeluarkan zakat fitri dan diserahkan kepada panitia sebelum shalat Idul Fitri dilaksanakan maka zakat tersebut sah.

Kiranya dapat disampaikan himbauan agar para wajib zakat fitri untuk bisa menyegerakan mengeluarkan zakat fitri atau tidak terlalu dekat dengan hari raya Idul Fitri, sehingga memberi waktu yang cukup kepada panitia untuk menyampaikan harta zakat fitri tersebut sebelum shalat Idul Fitri.

7. Pembaruan Distribusi Zakat Fitri

Hadis-hadis Nabi SAW menjelaskan bahwa terdapat beberapa fungsi dan tujuan dari zakat fitri, yaitu;

  1. Zakat fitri itu adalah hak bagi fakir miskin dan sebagai makanan bagi mereka. Hal ini dipahami dari kalimat ṭu’mah li al-masākin.
  2. Tujuan dari zakat fitri itu adalah membantu fakir miskin di hari raya agar ikut bergembira sebagaimana saudara- saudaranya, dapat membersihkan diri si kaya dari sifat kikir dan akhlak tercela, serta dapat mendidik diri bersifat mulia dan pemurah.
  3. Fungsi zakat itu sesungguhnya adalah untuk dapat mengubah keadaan si mustahik menjadi muzaki, dan bukan hanya memberi makan mereka untuk satu hari raya saja, tetapi juga untuk hari-hari berikutnya, dapat menjamin kehidupan sosial bagi masyarakat dan si miskin dapat tambahan jaminan kehidupannya karena zakat fitri itu adalah haknya dan akan dapat menambah hubungan yang erat dengan si “punya”.

Untuk tercapainya tujuan, fungsi serta hikmah tersebut, perlu adanya peningkatan dalam pengelolaan zakat fitri tersebut, seperti dengan cara mengembangkan dan memodalkan zakat fitri dan pembaruan dalam pendistribusiannya.

Dalil yang dijadikan sebagai dasar dalam pendistibusian zakat fitri adalah;

  1. R. Abū Dāwud, Ibnu Mājah dan al-Ḥākim Dari Ibnu ‘Abbās (diriwayatkan), ia berkata; Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya sedekah diantara berbagai sedekah. (H.R. Abū Dāwud, Ibnu Mājah dan al-Ḥākim, dengan menyatakan hadis ini sahih menurut kriteria al-Bukhārī, dan al-Dāruquṭnī mengatakan: tidak terdapat seorangpun di antara perawi-perawi hadis ini yang cacat riwayat).
  2. Hadis dari Ibnu Umar “Dari Ibnu Umar (diriwayatkan), ia bekata: Rasulullah SAW mewajibkan zakat, dan ia berkata ”Cukupilah mereka (daripada meminta-minta) pada hari ini (hari raya Idul Fitri).” (H.R. al- Dāruquṭnī).

Para ulama berbeda pendapat tentang kapan diwajibkannya mengeluarkan dan mendistribusikan zakat fitri. Perbedaan tersebut terbagi dua pendapat. Pertama, Mālikiyyah, Syāfi’iyyah dan Ḥanābilah berpendapat bahwa waktu wajib mengeluarkan zakat fitri merupakan kewajiban yang terbatas yaitu sejak terbenamnya matahari pada akhir bulan Ramaḍān sampai sebelum dilaksanakannnya shalat ‘Īd.

Mereka berdalil pada hadis Nabi: Dari Abdullāh bin ‘Umar (diriwayatkan) ia berkata: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri satu ṣā’ dari kurma atau ṣā’ dari gandum bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Dan Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat (‘Īd) “. (H.R. al-Bukhārī).

Dari Ibnu ‘Abbās (diriwayatkan), ia berkata; Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya sedekah diantara berbagai sedekah. (H.R. Abū Dāwud, Ibnu Mājah dan al-Ḥākim, dengan menyatakan hadis ini sahih menurut kriteria al-Bukhārī, dan ad-Dāruquṭnī mengatakan: tidak terdapat seorangpun di antara perawi-perawi hadis ini yang cacat riwayat).

Kedua, Ḥanafiyyah berpendapat bahwa waktu diwajibkan mengeluarkan dan mendistribusikan zakat fitri merupakan wajib muwassa’ (wajib mutlak) yaitu kewajiban yang tidak dibatasi waktunya, kapan pun seorang mukallaf mengeluarkan zakat fitri maka berarti ia telah melaksanakannya, meskpiun yang sangat dianjurkan mengeluarkan sampai sebelum ia pergi ke tempat pelaksanaan shalat ‘Īd. Mereka berdalil pada hadis riwayat al-Ḥākim dan al-Dāruquṭnī: Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Ia berkata, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri dengan bersabda: “Buatlah mereka cukup sehingga tidak meminta-minta pada hari ini”. (H.R. al-Ḥākim dan al- Dāruquṭnī).

fitri zakat bahwa menunjukkan “ َأ ْغ ُننو ُه ْم ِفنى هن َذا ا ْل َين ْوِم“ Nabi Sabda

diberikan kepada fakir miskin pada dasarnya untuk membuat mereka berkecukupan pada hari raya Idul Fitri sehingga tidak keliling meminta-minta dari rumah ke rumah. Membuat mereka berkecukupan, boleh, bahkan utamanya, tidak hanya pada hari raya saja, tapi sepanjang tahun atau sepanjang hidupnya. Pembagian zakat fitri sepanjang tahun atau bahkan seumur hidup, menurut Mażhab Ḥanafī, tidak sekedar ditunjukkan oleh sabda (sunnah qauliyyah) tersebut, tapi menjadi praktek Nabi (sunnah fi’liyyah) dalam pembayaran zakat.

Dalam pandangan mereka (Mażhab Ḥanafī), membayar zakat fitri sebelum shalat ‘Īd, bukan merupakan syarat sah, tapi hanya mustaḥab (anjuran). Anjuran ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa fakir miskin terpenuhi kebutuhan hidupnya pada hari raya.

Dari kedua pendapat tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah cenderung memilih pandangan Ḥanafiyyah, yaitu Pembagian zakat fitri dapat dilakukan sepanjang tahun atau bahkan seumur hidup, dengan argumen yang disampaikan di atas dan dengan pertimbangan pada salah satu prinsip zakat, yaitu prinsip pemberdayaan yaitu prinsip terkait pengelolaan dan pendayagunaan zakat, yang harus mampu meningkatkan kesejahteraan, baik dalam membaikinya kualitas konsumsi, maupun meningkatnya kehidupan spiritual di mana mustahik dapat membebaskan diri dari penerima menjadi pemberi zakat. Dengan demikian pengelola zakat tidak hanya sekedar mendistribusikannya, tetapi harus mampu menjamin dan memantau serta memberi arahan bagaimana zakat menjadi efektif dan berhasil guna.

B. Infaq
1. Pengertian Infaq

Kata infaq berasal dari kata nafaqa yang berarti sesuatu yang telah berlalu atau habis, baik dengan sebab dijual, dirusak, atau karena meninggal. Selain itu, kata infaq terkadang berkaitan dengan sesuatu yang dilakukan secara wajib atau sunnah.

Di dalam al-Qur’an, kata infaq disebut 1 kali yaitu dalam al- Isrā’ [17] ayat 100 tapi perintah infaq sebanyak 5 kali sedangkan kata lain yang seakar dengan kata tersebut seperti anfaqa, yunfiqu, dan nafaqatan disebut lebih dari 70 kali.

Infaq menurut istilah para ulama diartikan sebagai perbuatan atau sesuatu yang diberikan oleh seseorang untuk menutupi kebutuhan orang lain, baik berupa makanan, minuman, dan sebagainya, juga mendermakan atau memberikan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas dan karena Allah SWT semata.

2. Pahala dan Keutamaan Infaq

Dalam pandangan syariat Islam orang yang berinfaq akan memperoleh keberuntungan yang berlipat ganda baik di dunia maupun di akhirat. Orang yang berinfaq tidak akan jatuh miskin, malah rezekinya akan bertambah. Dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 261 Allah

SWT berfirman: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh batang dan 100 butir Allah melipat gandakan (pahala) setiap bagi siapa yang dia kehendaki. (Q.S. al- Baqarah [2]: 262).

3. Hukum Infaq

Berinfaq sangat dianjurkan dalam syariat Islam. Dalam al- Qur’an, terdapat 5 kali perintah berinfaq, di antaranya dalam surat al-Munāfiqūn [63] ayat 10: “Belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian…”.

Surat al-Tagābun [64]: 16: “… dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu…”.

Sementara itu dalam surat al-Ṭalaq [65]: 7, Allah berfirman: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya…”.

Dari ayat-ayat tersebut dapat ditarik pengertian bahwa infaq termasuk amal yang sangat dianjurkan dan sunah hukumnya tetapi dapat pula menjadi wajib apabila masyarakat sangat memerlukan.

C. Shadaqah
1. Pengertian Shadaqah

Shadaqah berasal dari kata ṣadaqa yang artinya benar atau pemberian seseorang secara ikhlas kepada yang berhak menerimanya yang akan diiringi pahala dari Allah SWT. Berdasarkan pengertian ini maka infaq harta untuk kebaikan termasuk dalam kategori shadaqah.

Shadaqah dalam konsep Islam mempunyai arti yang luas tidak hanya terbatas pada pemberian sesuatu yang sifatnya material kepada orang-orang miskin, tetapi lebih dari itu, shadaqah mencakup semua perbuatan kebaikan, baik bersifat fisik maupun nonfisik. Bentuk- bentuk  Shadaqah  dalam  ajaran  Islam  dapat  dilihat  pada   beberapa

hadis Nabi Muhammad SAW di antaranya Rasulullah SAW bersabda: “Kepada setiap muslim dianjurkan bershadaqah”. Para sahabat bertanya: “hai Nabi, bagaimana orang-orang yang tidak mendapatkan sesuatu yang akan dishadaqahkannya?” Rasulullah SAW menjawab “Hendaklah ia berusaha dengan tenaganya hingga ia memperoleh keuntungan bagi dirinya lalu ia bershadaqah (dengannya)”. Mereka bertanya lagi: “jika ia tidak memperoleh sesuatu?” Jawab Rasulullah: “Hendaklah ia melakukan kebaikan dan menahan diri dari kejahatan, karena hal itu merupakan shadaqahnya” (Ḥ.R. Aḥmad).

2. Perbedaan Shadaqah dan Zakat

Menurut Fuqahā’, perbedaan shadaqah dan zakat dapat dilihat sebagai berikut:

a. Dari segi subjek (orang yang bershadaqah)

Shadaqah dianjurkan (disunahkan) kepada setiap orang yang beriman, baik mampu maupun kurang mampu, baik kuat maupun lemah. Sedangkan zakat diwajibkan kepada orang-orang tertentu, yaitu orang-orang kaya yang telah memenuhi persyaratan sebagai wajib zakat. Hal ini diterangkan Nabi Muhammad SAW dalam hadis “….Sesungguhnya Allah mewajibkan zakat kepada mereka, yaitu dari harta benda yang mereka miliki, yaitu diambil dari orang- orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir (miskin) di antara mereka.” (H.R. al-Bukhārī dan Muslim)

b. Dari segi yang dishadaqahkan

Shadaqah yang diberikan tidak terbatas pada fisik harta, melainkan mencakup semua kebaikan. Sedangkan pada zakat yang dikeluarkan terbatas pada harta kekayaan secara fisik seperti hasil pertanian peternakan, perdagangan, dan hasil usaha lainnya.

c. Dari segi penerima (objeknya)

Zakat hanya diberikan kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an yaitu kepada golongan yang delapan, sebagaimana yang dijelaskan di dalam ayat berikut yang artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah…” (Q.S. al-Taubah [9]: 60).

Adapun Shadaqah atau infaq selain kepada yang 8 golongan tersebut, boleh juga diberikan kepada yang lain sebagaimana yang diterangkan dalam Hadis berikut: “Dari Abū Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW memerintahkan untuk bershadaqah. Lalu seseorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah: ya Rasulullah: “saya mempunyai satu dinar uang”. Laki-laki itu berkata lagi: “ada lagi satu dinar yang lain ya Rasulullah”. Maka Rasulullah SAW bersabda : “shadaqahkanlah untuk istrimu. Kemudian ia berkata lagi: “masih ada satu dinar lagi ya Rasulallah. Beliau bersabda shadaqahkanlah untuk anakmu. Kata laki-laki itu masih ada satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda: shadaqahkanlah kepada pelayanmu. Ia berkata lagi: “ada satu dinar lagi”. Rasulullah bersabda: “terserah padamu, engkau lebih mengetahui ke mana yang lebih baik”. (H.R. Abū Dāwud, al-Nasā’ī, dan al-Ḥākim).

3. Benda yang dishadaqahkan

Pada dasarnya shadaqah itu hanya dibolehkan apabila benda yang di shadaqahkan itu milik sendiri, tidak sah menshadaqahkan sesuatu yang menjadi milik bersama atau milik orang lain. Oleh sebab itu seorang istri tidak diperbolehkan menshadaqahkan harta tanpa lebih dahulu mendapat izin dari suaminya.

BAB VI : AṢNĀFAṢNĀF MUSTAHIK ZAKAT

 Pembagian zakat dalam Q.S. al-Taubah [9]: 60 diatur untuk 8 aṣnāf (kelompok) penerima zakat (Arab: mustaḥiq). Ayat itu adalah sebagai berikut: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang- orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang,  untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Taubah [9]: 60)

Kehidupan yang dijalani umat pada zaman sekarang sangat jauh berbeda dari yang mereka jalani pada zaman Nabi sampai zaman pra- modern. Hal ini tidak terlepas dari perubahan sejarah dalam  semua bidang kehidupan yang tidak dapat dihindari. Perubahan yang terkait dengan aturan pembagian zakat di antaranya adalah perubahan sistem sosial dari feodalisme-perbudakan menjadi egalitarisme sehingga perbudakan yang pada zaman dahulu legal sekarang menjadi kejahatan berat, yakni kejahatan kemanusiaan;

Perubahan standar kesejahteraan dari pemenuhan kebutuhan primer meliputi 3 kriteria (pangan, sandang dan papan) menjadi meliputi 5 kriteria (3 di depan ditambah kesehatan dan pendidikan); dan perubahan pengelolaan zakat oleh individu dan lembaga tidak resmi pada masa lalu menjadi pengelolaan oleh lembaga resmi sehingga pengelolaan oleh pihak pertama menjadi kejatahan yang dapat diproses ke pengadilan.

Perubahan kehidupan itu membuat definisi aṣnāfaṣnāf yang dikembangkan pada masa klasik dan pertengahan Islam dahulu tidak seluruhnya dapat diterapkan pada zaman sekarang. Karena itu mau tidak mau harus dilakukan redefinisi terhadapnya supaya pembagian zakat sesuai dengan ayat tersebut.

Makna Kata Penghubung Li dan Fī

Dalam al-Taubah [9]: 60 peruntukan zakat bagi 8 aṣnāf dikemukakan dengan menggunakan kata penghubung (ḥarf al-jarr): li dan fī. Al-Zamakhsyarī memahami bahwa kata li digunakan sebagai kata penghubung untuk 4 aṣnāf pertama yang disebutkan di dalamnya, yakni al-fuqarā’, al-masākin, al-‘āmilīn ‘alaihā dan al-mu’allafāt qulūbuhum. Adapun digunakan sebagai kata penghubung untuk 4 aṣnāf terakhir, yakni al-riqāb, al-gārimīn, sabīlillāh dan ibnu al-sabīl. Dia juga menjelaskan bahwa makna li dalam ayat tersebut li al-milki (berarti bagi) dan makna fī li al-wi’a’ (berarti dalam) dan menegaskan bahwa 4 aṣnāf yang terakhir lebih kuat haknya untuk menerima zakat karena dalam “riqāb” terkandung makna pembebasan budak dari perbudakan dan pembebasan tawanan perang dari penawanan musuh; dalam al-gārimīn terdapat pembebasan dari utang; dalam “sabīlillāh” ada gabungan antara kemiskinan dan ibadah (orang miskin yang berhaji dan orang miskin yang ikut perang jihad); dan dalam ibnu al-sabīl ada gabungan kemiskinan dan jauh dari keluarga dan harta yang dimiliki. (Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-‘Aqāwil fī Wujūh al-Ta’wīl (Teheran: Intisyarat Afitab, t.t.) II: 198).

Pemahaman berbeda diberikan oleh Rasyīd Riḍā. Penafsir pembaharu dari Mesir ini memahami bahwa li dalam Q.S. al-Taubah [9]:

60 digunakan sebagai kata penghubung untuk 6 aṣnāf, sedang digunakan sebagai kata penghubung untuk 2 aṣnāf, yakni al-riqāb dan sabīlillāh. Dia juga menjelaskan bahwa li lil milki yang bermakna zakat menjadi  hak  individu  yang  memiliki  kebutuhan   mendesak   (asykhaṣ massat hum al-ḥājah) dan fī lil wi’a’ yang bermakna zakat untuk maṣlaḥah ‘āmmah, kepentingan umum. (Muḥammad ‘Abduh dan Rasyīd Riḍā, Tafsīr al-Manār (Beirut: Dār al-Fikr, 1978) X: 499).

Pedoman ini mengikuti pandangan Rasyīd Riḍā dengan alasan sebagai berikut:

  1. Li digunakan secara langsung sekali untuk al-fuqarā’ dan digunakan secara langsung dua kali untuk al-riqāb dan sabīlillāh dengan di tengah-tengahnya ada al-gārimīn. Ini berarti bahwa hanya menjadi kata penghubung untuk al-riqāb dan sabīlillāh
  2. Hadis riwayat Abū Dāwud dan lain-lain yang menegaskan zakat boleh diberikan kepada orang kaya dengan 5 alasan: Rasullah SAW bersabda, “Sedekah (zakat) tidak halal bagi orang kaya kecuali karena 5 hal: menjadi pasukan di jalan Allah, menjadi amil, menjadi orang yang memiliki utang, dia membeli sedekah dengan hartanya atau ada tetangga miskin yang menerima sedekah dan menghadiahkan sedekah yang diterima itu kepadanya (orang kaya).

Dalam hadis ini ada 2 alasan yang menunjukkan pembagian zakat untuk kepentingan umum sehingga orang kaya dapat memanfaatkan atau menikmatinya. Pertama, alasan menjadi pasukan di jalan Allah. Alasan ini menunjukkan bahwa sabīlillāh yang dibicarakan dalam Q.S. al-Taubah [9]: 60 memiliki pengertian umum, tidak hanya meliputi orang miskin yang ikut berjihad saja, seperti yang disinggung al-Zamakhsyarī, tapi juga orang kaya yang mengikutinya.

Ini berarti bahwa sabīlillāh yang menjadi aṣnāf penerima zakat itu adalah kepentingan umum sehingga orang kaya yang terlibat di dalamnya diperbolehkan untuk menerima zakat. Kedua, membeli sedekah. Alasan ini menunjukkan bahwa pelaksanaan zakat pada zaman Nabi di antaranya didayagunakan untuk pembelian atau pengadaan prasarana dan sarana yang dapat digunakan bersama-sama oleh seluruh warga masyarakat.

Contohnya yang populer adalah pembelian sebuah sumur Raumah di Madinah oleh ‘Uṡmān bin ‘Affān, sahabat, khalifah dan menantu Nabi SAW, dan airnya diperuntukkan bagi seluruh pihak yang membutuhkannya, termasuk Khalifah ‘Uṡmān sendiri. Pelaksanaan demikian jelas membuktikan adanya praktek pendayagunaan zakat untuk kepentingan umum pada zaman Nabi SAW dan sahabat, sehingga seharusnya menjadi sunah yang diteladani.

Kebutuhan yang ada pada masyarakat bukan hanya kebutuhan individu semata, tetapi juga kebutuhan publik. Apabila zakat hanya untuk invidu saja, maka kebutuhan publik pasti terabaikan. Karena itu harus ada pembagian zakat untuk memenuhi kebutuhan publik tersebut untuk mewujudkan kebaikan hidup bersama, tidak hanya kebaikan hidup individu-individu saja.

A. Mustahik Individu/Lembaga

1. Orang-Orang Fakir (al-Fuqarā’)

Aṣnāf individu mustahik zakat yang disebutkan pertama dalam

Q.S. al-Taubah, [9]: 60 adalah al-Fuqarā’, orang-orang fakir. Kata al- Fuqarā’ merupakan jamak dari al-fāqir dengan kata dasar al-faqr. Arti asal kata al-fāqir adalah “orang” yang retak tulang belakangnya.

Arti asal ini menggambarkan betapa beratnya beban hidup orang fakir dan gambaran ini ada dalam al-faqr, yang menurut al-Aṣfahānī, memiliki 4 pengertian: adanya kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi (ḍarūriyyah) dan dialami oleh seluruh umat manusia di dunia, bahkan oleh seluruh makhluk Allah; tiadanya kekayaan dan penghasilan; kemiskinan jiwa; dan kebutuhan kepada Allah (Al-Aṣfahānī, Mu’jam Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.) hal.397).

Kemudian dalam literatur tafsir, istilah al-Fuqarā’ diberi pengertian berbeda-beda oleh para ulama. Pengertian-pengertian itu yang disebutkan dalam al-Nukat wa al-‘Uyūn adalah sebagai berikut:

  1. Fakir: orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup dan tidak meminta-minta (Ibnu ‘Abbās, Ḥasan Baṣrī, Jābir, Ibn Zaīd, al-Zuhrī, Mujāhid dan Zaīd bin Aslām)
  2. Fakir: penderita penyakit/cacat yang tidak dapat disembuhkan/seumur hidup (żū al-zamanah) yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup (Qatādah)
  3. Fakir: orang miskin dari kaum muhajirīn (al-Ḍahhak bin Muzāhim dan Ibrāhīm al-Nakhā’ī)
  4. Fakir: orang muslim miskin (‘Ikrimah)
  5. Fakir: orang yang tidak memiliki apa-apa karena kebutuhan hidup telah mencekiknya (li anna al-ḥajah kassarat faqarahū – kebutuhan hidup membuat retak-retak tulang belakangnya) (Imam al-Syāfi’ī)
  6. Fakir: orang yang memiliki kekayaan/penghasilan yang tidak mencukupinya (Abū Ḥanīfah) (Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2012) II:374).

Pedoman ini mengikuti pandangan Imam al-Syāfi’ī (pandangan ke-5) dengan pertimbangan:

  1. Qaul  Khalifah  ‘Umar  bin  Khaṭṭāb:  orang  miskin  bukanlah orang yang tidak memiliki harta, tapi al-akhlaq al-kasb  (orang yang memiliki pekerjaan, tapi penghasilannya tidak mencukupi) (Ibid., hal. 374-375).
  2. Al-Fāqir dalam al-Qur’an (dan hadis) digunakan dengan 4 pengertian yang disebutkan oleh al-Aṣfahānī dengan salah satunya adalah “tidak memiliki apa-apa (kekayaan dan penghasilan) yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup”, sebagaimana disinggung di Kaidah tafsir: al-awwāliyah tadullu ‘alā al-aulāliwiyyah, posisi di awal (disebutkan lebih dahulu) menunjukkan kelebihutamaan (menunjukkan pengertian lebih dalam). Berdasarkan Kaidah ini, orang-orang fakir yang disebutkan pertama dalam ayat sebelum para penyandang masalah ekonomi lain (orang-orang miskin, orang-orang yang memiliki utang dan ibnu sabil) berarti memiliki masalah ekonomi yang paling berat dibandingkan

Berdasarkan pilihan ini, pedoman ini memberikan pengertian al- Fuqarā’ adalah “orang-orang yang tidak memiliki kekayaan dan penghasilan atau orang melarat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer/dasar (pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan).” Dalam perspektif ekonomi, pengertian ini berarti memasukkan mereka sebagai orang-orang yang mengalami kemiskinan absolut dengan menyandang masalah ekonomi berat sehingga berhak untuk mendapatkan pemberdayaan dengan 4 orientasinya: orientasi kesejahteraan, orientasi kemandirian, orientasi perubahan sosial, dan orientasi advokasi kebijakan publik.

Dalam pelaksanaan pembagian zakat, mereka dapat diberi bagian dengan kriteria fakir yang relevan sekarang sebagai berikut:

  1. Orang yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya
  2. Orang yang mengalami kemiskinan multi dimensi
  3. Penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus
  4. Lansia yang tidak memiliki kekayaan dan penghasilan
  5. Orang yang kehilangan harta benda karena bencana
  6. Orang yang tidak memiliki biaya pendidikan dasar 9 tahun
  7. Kaum imigran yang menunggu penempatan di negara-negara tujuan (imigran Afganistan di Indonesia dll).

2. Orang-Orang Miskin (al-Masākin)

Aṣnāf individu yang disebutkan kedua dalam Q.S. al-Taubah, [9]: 60 adalah orang-orang miskin (al-masākin). Kata al-masākin merupakan jamak dari al-miskīn dengan kata dasar al-sukun yang berarti diamnya sesuatu setelah bergerak (Al-Aṣfahānī, Mu’jam Mufradāt, hal. 242). Dari kata dasar ini diketahui bahwa al-miskīn adalah orang yang diam setelah bergerak.

Adapun pengertian al-masākin menurut para ulama yang disebutkan dalam al-Nukat wa al-‘Uyūn adalah sebagai berikut:

  1. Orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup dan meminta-minta (Ibnu ‘Abbās, Ḥasan Baṣrī, Jābir, Ibn Zaīd, al- Zuhrī, Mujāhid dan Zaīd bin Aslām)
  2. Orang yang sehat badannya yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup (Qatādah)
  3. Orang miskin dari non-muhajirin (al-Ḍahhak bin Muzāhim dan Ibrāhīm al-Nakhā’ī)
  4. Orang miskin dari kaum ahli kitab (‘Ikrimah)
  5. Orang yang memiliki kekayaan atau penghasilan yang menjadi sandaran hidupnya, tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup (Imam al-Syāfi’ī)
  6. Orang yang tidak memiliki kekayaan/penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup (Abū Ḥanīfah) (Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, II: 374).

Pedoman ini mengikuti pendapat ulama kelima (Imam al- Syāfi’ī) dengan beberapa pertimbangan beikut:

  1. Qaul Khalifah Umar bin Khaṭṭāb yang telah disebutkan di a
  2. Secara bahasa kata al-miskīn juga berarti sedikit bergerak, baik secara fisik karena lemah dan tidak berdaya maupun secara psikis karena memiliki kepuasan hidup (qanā’ah) dan kesabaran (Muḥammad ‘Abduh dan Rasyīd Riḍā, Tafsīr al-Manār, X: 490). Sedikit bergerak dalam pengertian fisik ini dapat menunjukkan bahwa al-miskīn adalah orang yang memiliki perkerjaan, penghasilan atau kekayaan, tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Pengertian ini diperkuat oleh pengertian al-miskīn menurut isytiqaq atau pembentukannya yang lain, yakni al-qarru al- ṣabīr ‘alā mā huwa ‘alaih lā yujāhidu li al-takhalluṣi minhu, orang yang menetap dan bertahan pada keadaannya tanpa usaha sungguh- sungguh untuk mentas (Muḥammad Ḥasan Ḥasan Jabal, al-Mu’jam al-Isytiqāqi al-Mu’aṣṣal li Alfāẓ al- Qur’ān al-Karīm (Kairo: Maktabah al-Adab, 2010) I: 1042.)
  3. Kaidah tafsir: al-awwāliyah tadullu ‘alā al-aulāliwiyyah, posisi di awal (disebutkan lebih dahulu) menunjukkan kelebihutamaan (menunjukkan pengertian lebih dalam). Berdasarkan Kaidah ini berarti bahwa orang-orang miskin memiliki masalah ekonomi yang lebih ringan daripada orang- orang fakir, tetapi lebih berat dibandingkan dengan penyandang masalah ekonomi lain (orang-orang yang memiliki utang dan ibnu sabil).

Berdasarkan pilihan di atas, orang miskin yang berhak menerima zakat adalah orang yang memiliki kekayaan, pekerjaan, usaha atau penghasilan yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan). Ini berarti bahwa dia adalah orang yang mengalami kemiskinan absolut dengan menyandang masalah ekonomi sedang dan berhak untuk mendapatkan pemberdayaan dengan 4 orientasi di atas.

Orang miskin demikian dapat diberi bagian zakat dengan kriteria yang relevan sekarang berikut:

  1. Orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
  2. Orang yang kekurangan modal untuk usaha
  3. Orang yang menderita sakit dan tidak memiliki kemampuan berobat
  4. Orang yang tidak memiliki biaya pengurusan jenazah
  5. Orang yang tidak memiliki biaya pendidikan dasar 12 tahun

3. Pengelola Zakat/Amil (al-‘Āmilīn ‘alaihā)

Mustahik yang disebutkan ketiga dalam Q.S. al-Taubah, [9]: 60 adalah al-‘āmilīn ‘alaihā. al-‘Āmilīn merupakan jamak dari ‘āmil dengan kata dasar ‘amal yang berarti perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (Al-Aṣfahānī, Mu’jam Mufradāt, hal. 360). Dengan memperhatikan kata ganti hā’ dalam ‘alaihā kembali pada al-ṣadaqāt, al-‘āmilīn ‘alaihā berarti orang- orang yang bekerja mengelola atau mengurus zakat.

Al-Māwardī menjelaskan bahwa al-‘āmilīn ‘alaihā adalah para pegawai yang melaksanakan tugas penghimpunan dan pembagiaan zakat. Berdasarkan pengertian ini dia menegaskan bahwa kepala negara (imām) dan kepada daerah (wali al-iqlīm) tidak dapat dimasukkan sebagai amil (Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, II: 376).

Pedoman ini mengikuti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang menetapkan bahwa pengelolaan zakat di Indonesia harus dilaksanakan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), yakni lembaga pemerintah non- struktural yang mandiri dan melakukan pengelolaan zakat secara nasional; dan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ), yakni lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu BAZNAS.

Dengan demikian amil sekarang bukan lagi individu perorangan, tetapi individu “lembaga” yang dalam fikih dikenal dengan istilah al-syakhṣiyyah al-ḥukmiyyah dengan tugas-tugas yang ditetapkan UU tersebut sebagai berikut:

  1. Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
  2. Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
  3. Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan zakat; dan
  4. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.

Amil dengan pengertian di atas mendapatkan bagian dari zakat untuk operasional pengelolaan zakat sesuai dengan 4 tugas di atas meliputi kriteria yang relevan sekarang berikut:

  1. Gaji/honorarium pimpinan/pegawai lembaga
  2. Biaya pengadaan kantor
  3. Biaya pengadaan dan pemeliharaan alat-alat kantor
  4. Biaya operasional kantor/lembaga
  5. Biaya perjalanan dinas

4. Muallaf (al-Mu’allafāt Qulūbuhum)

Mustahik individu yang disebutkan keempat dalam Q.S. al- Taubah, [9]: 60 adalah al-mu’allafāt qulūbuhum. Kata al-mua’allafah merupakan ism al-maf’ūl yang dibentuk dari al-‘ilf yang berarti berhimpun dengan harmonis (rukun) (Al-Aṣfahānī, Mu’jam Mufradāt, hal. 16) qulūbuhum (hati-hati mereka) dalam frasa itu menjadi nā’ib al-fā’il dari al-muallafah, dan hum adalah kata ganti yang kembali kepada al (dalam al-mu’allafah) yang merujuk kepada pihak-pihak yang didekati Nabi SAW supaya bersedia “berhimpun” dengan Islam.

Para ulama mengidentifikasi pihak-pihak yang dilobi Nabi itu sebagai berikut:

  1. Orang yang masuk Islam dengan niat yang lemah dan diberi bagian zakat supaya menjadi kuat dalam memeluknya (pada zaman Nabi: ‘Uqbah bin Zaīd, Abū Sufyān bin Ḥarb, al-Aqra’ bin Ḥābis dan ‘Abbās bin Mirdās)
  2. Orang yang masuk Islam dengan niat yang baik dan diberi zakat supaya dapat menarik keluarganya yang masih non- Muslim untuk masuk Islam (pada zaman Nabi: ‘Adī bin Ḥātim)
  3. Non-Muslim yang mengganggu perkembangan Islam dan diberi zakat supaya tidak mengganggu perkembangannya (pada zaman Nabi: ‘Amīr bin Ṭufail)
  4. Non-Muslim yang tertarik kepada Islam dan diberi zakat supaya mau masuk Islam (pada zaman Nabi: Ṣafwan bin Umayyah) (Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, II: 375- 376).

Kemudian berkaitan dengan hak muallaf untuk diberi bagian zakat setelah zaman Nabi, para ulama berbeda pendapat sebagai beikut:

  1. Setelah zaman Nabi, muallaf diberi bagian zakat (Ḥasan Baṣrī, sekelompok ulama dan Imam al-Syāfi’ī menurut satu riwayat)
  2. Setelah zaman Nabi, muallaf tidak diberi bagian zakat (Jabir dan Imam al-Syāfi’ī menurut riwayat yang lain) (Ibid., hal. 376).

Pedoman ini mengikuti identifikasi muallaf yang meliputi Muslim dan Non-Muslim yang dirumuskan ulama di atas. Adapun pandangan tentang haknya yang diikuti adalah pandangan pertama (pandangan Ḥasan Baṣrī dan lain-lain). Pilihan ini berdasarkan pertimbangan bahwa identifikasi dan pandangan tentang hak tersebut sangat relevan pada zaman sekarang.

Sesuai dengan itu, pedoman ini memberi pengertian muallaf adalah “pihak (perorangan dan lembaga), baik Muslim maupun non- Muslim, yang potensial dalam mendukung pengembangan dakwah dan spiritualitas dan orang yang mengalami gangguan dan ancaman dalam pengembangan spiritualitas.” Pengertian ini berarti bahwa bagian zakat untuk muallaf itu menjadi usaha pemberdayaan dalam pengembangan dakwah dan spiritualitas di kalangan masyarakat dan individu-individu. Adapun kriterianya yang relevan sekarang adalah sebagai berikut:

  1. Pemberdayaan ekonomi, pendidikan dan kerohanian kepada muallaf
  2. Lobby pengembangan dakwah dan spiritualitas
  3. Pelaksanaan dakwah komunitas

5. Orang-orang yang memiliki utang (al-Gārimīn)

Mustahik individu berikutnya yang disebutkan keenam dalam Q.S. al-Taubah, [9]: 60 adalah al-Gārimīn. Kata al-Gārimīn dibentuk dari kata dasar al-gurm yang arti asalnya adalah keadaan tidak baik (maḍārat) yang menimpa pada harta orang tanpa kejahatan dan pengkhianatan terhadapnya. Dalam bahasa kemudian digunakan dengan pengertian utang sehingga ism al-fā’il yang dibentuk dari kata dasar itu ada yang berarti orang yang memiliki utang (gārim) dan orang yang memiliki piutang (garīm) (Al-Aṣfahānī, Mu’jam Mufradāt, hal. 372). Kata al-Gārimīn dalam ayat tersebut merupakan ism al- fā’il bentuk pertama sehingga artinya adalah orang-orang yang memiliki utang.

Al-Māwardī menyebutkan beberapa pendapat ulama tentang pengertian al-Gārimīn yang berhak menerima zakat:

  1. Orang miskin yang berutang untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga
  2. Orang miskin dan orang kaya yang berutang untuk mewujudkan kemashalahatan umum, seperti meredam konflik dan mendamaikan pihak-pihak yang terlibat konflik di masyarakat
  3. Tentang orang yang berutang untuk melaksanakan maksiat, mereka berbeda pendapat: tidak diberi zakat untuk tidak menolongnya melakukan maksiat; diberi zakat supaya dapat melaksanakan kewajiban membayar utang; diberi zakat setelah bertobat (Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, II: 376).

Berdasarkan pendapat ulama di atas, pedoman ini menggunakan al-Gārimīn dengan pengertian “orang yang memiliki utang untuk keperluan yang baik, baik untuk keperluan diri dan keluarga maupun untuk kepentingan umum, namun tidak dapat melunasi pada tempo yang ditentukan sehingga mengalami gangguan dalam kehidupan pribadi dan keluarganya.” Ini berarti bahwa al-Gārimīn adalah orang- orang yang mengalami kemiskinan relatif dengan masalah ekonomi ringan, yakni masalah keuangan atau finansial.

Orang-orang yang memiliki utang demikian dapat diberi bagian zakat dengan kriteria yang relevan sekarang sebagai berikut:

  1. Bantuan biaya pelunasan utang kepada rentenir
  2. Bantuan pelunasan biaya rumah sakit
  3. Bantuan pelunasan biaya pendidikan tinggi
  4. Bantuan pelunasan utang orang kaya untuk pembangunan fasilitas umum
  5. Bantuan pelunasan utang orang kaya untuk pembangunan sosial (kesehatan, pendidikan dan interaksi warga masyarakat)
6. Ibnu Sabil

Mustahik individu yang disebutkan terakhir dalam Q.S. al- Taubah, [9]: 60 adalah ibn al-sabīl. Kata ibn berarti anak laki-laki dan al-sabīl berarti jalan yang ada kemudahan (untuk melewatinya) (Al-Aṣfahānī, Mu’jam Mufradāt, hal. 228. Dari arti ini jelas bahwa kemudahan yang ada pada jalan itu dapat ada pada jalan itu sendiri (misal: lebar, halus dan lurus) dan dari penggunaannya tampaknya kemudahan juga bisa ada pada pengguna jalan (misal: memiliki bekal dan kendaraan).

Di kalangan para ulama berkembang beberapa pandangan tentang pengertian ibnu sabil yang berhak menerima zakat:

  1. Orang yang dalam perjalanan dan kehabisan bekal sehingga tidak dapat menyelesaikan perjalanan dan tidak dapat pulang. Dalam penafsiran al-Taubah, [9]: 60, al-Māwardī menyebutkan bahwa pendapat ini dikemukakan oleh Jumhur Ulama, (Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, II: 376). sementara dalam penafsiran al-Nisā’, [4]: 36 dia menyebutkan bahwa pendapat tersebut dikemukakan oleh Mujāhid, Qatādah dan al-Rābi’ (Ibid., I: 486).
  2. Tamu (Ibnu al-Anbārī) (Ibid., II: 376).
  3. Orang yang hendak melaksanakan bepergian (Imām al-Syāfi’ī) (Ibid., I: 486)
  1. Orang yang Pendapat  ini dikemukakan oleh al-Ḍaḥḥak109 dan oleh Qatādah (Muḥammad Ṣadīq Khān, Fatḥ al-Bayān fī Maqāṣid al-Qur’ān (Beirut: al- Maktabah al-‘Aṣriyyah, 1992), V: 331)
  1. Orang berhaji tanpa membawa bekal (Fuqahā’ Irak) (Ibid)

Sesuai dengan pendapat-pendapat ulama di atas, pedoman ini menggunakan pengertian Ibnu Sabil dengan “orang yang tidak memiliki bekal (biaya tiket dan atau biaya hidup) untuk mengadakan dan meneruskan perjalanan (perantauan) untuk keperluan yang baik.” Ini berarti bahwa Ibnu Sabil adalah orang yang mengalami kemiskinan relatif dengan masalah ekonomi ringan, yakni masalah perbekalan.

Ibnu sabil dalam pengertian demikian dapat diberi bagian zakat dengan kriteria yang relevan sekarang sebagai berikut:

  1. Bantuan mahasiswa yang kekurangan biaya di perantauan di mana dia menempuh pendidikan tinggi
  2. Bantuan peserta pendidikan khusus yang kekurangan biaya di perantauan di mana dia mengikuti pendidikan khusus
  3. Orang yang kehabisan bekal di perjalanan
  4. Pemulangan TKI yang terlantar di luar negeri
  5. Pemulangan jamaah haji yang terlantar di luar negeri
  6. Orang yang tidak memiliki biaya (tiket dan uang saku) mengadakan perjalanan penting dan mendesak
B. Mustahik Publik
1. Riqab

Mustahik publik yang disebutkan kelima dalam Q.S. al-Taubah, [9]: 60 adalah riqab (al-riqāb). Kata al-riqāb merupakan jamak dari al-raqbah yang arti asalnya adalah leher belakang dan kemudian digunakan untuk menyebut budak. Dalam bahasan Arab budak disebut demikian karena ia dalam kekuasaan tuannya seperti barang dalam kekuasaan pemiliknya.

Para ulama memberikan beberapa pengertian tentang riqab yang berhak menerima zakat:

  1. Budak yang mengadakan akad pembebasan diri dengan tuannya (Arab: mukātab) (Ali bin Abi Thalib dan Imām al- Syāfi’ī) (Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, II: 376).
  2. Budak yang dibeli untuk dimerdekakan (Ibnu ‘Abbās dan Imām Mālik) (Ibid).
  3. Tawanan (Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-‘Aqāwil fī Wujūh al-Ta’wīl (Teheran: Intisyarat Afitab, t.t.), II: 197 dan Ismā’īl Ḥaqī, Rūh al-Bayān (Beirut: Dār al-Fikr, t.,t.), I: 282).

Dalam hukum internasional sekarang perbudakan  sudah dilarang dan peperangan yang legal adalah perang antar-negara. Namun dalam kenyataan masih terjadi “perbudakan” dan “konflik bersenjata” antar warga masyarakat. Perbudakan pada dasarnya merupakan sistem sosial yang tidak berperikemanusiaan dengan melegalkan diskriminasi, penindasan dan eksploitasi. Ketika Islam datang, perbudakan bersama feodalisme menjadi sistem sosial yang dominan dan ia mengubahnya menjadi sistem sosial egalitarianisme. Pada zaman Nabi SAW perubahan dilakukan secara evolusioner dengan membuka pintu pembebasan budak yang sebanyak-banyaknya dan selebar-lebarnya. Kemudian perang (konflik bersenjata) adalah konflik sosial yang menyebabkan warga masyarakat yang terlibat konflik berada pada lubang kemiskinan dan para Nabi diutus untuk menghilangkan konflik (Q.S. al-Baqarah, [2]: 213).

Berdasarkan pendapat ulama dan hukum internasional beserta kenyataan yang ada sekarang, pedoman ini menggunakan Riqab dengan pengertian “orang-orang yang menjadi korban dari penerapan sistem sosial yang menindas dan konflik sosial dan orang yang mengalami eksploitasi secara seksual dan ekonomi di luar batas kemanusiaan.” Ini berarti bahwa mereka adalah para korban perbudakan (lama) dan perbudakan modern; korban negara fasis dan rasis; korban konflik sosial; dan korban eksploitasi seksual dan ekonomi.

Riqab dalam pengertian demikian berhak mendapatkan bagian zakat dengan kriteria yang relevan sekarang adalah:

  1. Buruh migran yang mengalami eksploitasi
  2. Korban trafficking
  3. Pengungsi korban konflik sosial, kerusuhan dan pengusiran (pengungsi Wamena dll)
  4. Pengungsi konflik politik (Pengungsi Suriah dll)
  5. Pengungsi korban fasisme dan rasisme (Pengungsi Rohingya dll)
2. Sabilillah

Mustahik publik yang disebutkan ketujuh dalam al-Taubah, [9]: 60 adalah sabilillah (sabīl Allāh). Di atas telah disebutkan pengertian sabīl yang dapat dijadikan pijakan memahami arti bahasa dari istilah itu, jalan yang ada kemudahan untuk melewatinya dalam menuju Allah.

Para ulama mengemukakan pendapat berbeda-beda tentang pengertian sabilillah:

  1. Prajurit (al-guzat) dan lasykar (murābiṭūn) perang (sebagian besar ulama) (Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, II: 376 dan Muḥammad Ṣadīq Khān, Fatḥ al-Bayān, V: 331).
  2. Orang-orang yang menunaikan haji dan umrah (Ibnu ‘Umar) (Muḥammad Ṣadīq Khān, Fatḥ al-Bayān, V: 331).
  3. Jalan kemaslahatan agama untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti Infaq untuk haji dan umrah, silaturahim, sedekah, mencukupi kebutuhan prajurit, diri sendiri dan keluarga (Ibid., I: 391).
  4. Semua jalan kebaikan berupa penyediaan kain kafan, pembangunan jembatan dan benteng pertahanan, pemakmuran masjid dan lain-lain (Ibid., V: 331).
  5. Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, I: 253.
  6. Agama yang mengantarkan untuk mendapatkan pahala dan rahmat (Ismāīl Ḥaqī, Rūh al-Bayān, I: 308).
  7. Kemaslahatan (Muḥammad ‘Abduh dan Rasyīd Riḍā, Tafsīr al-Manār, X: 499).
  8. Jalan yang mengantarkan untuk mendapatkan riḍa Allah, berupa semua amal yang diizinkan Allah untuk meninggikan kalimah-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya (Muhammadiyah)

Dengan memperhatikan pendapat-pendapat ulama di atas, hakikat risalah Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam dan masyarakat utama yang menjadi tujuan gerakan Muhammadiyah, pedoman ini menggunakan Sabilillah dengan pengertian “Jihad untuk mewujudkan kemaslahatan umum dan untuk menjadi unggul dalam mencapai tujuan risalah Islam yang diwahyukan untuk mewujudkan hidup  baik  (ḥayah  ṭayyibah)  dengan  indikator-indikator:  sejahtera (lahum ajruhum ‘inda rabbihim), damai (lā khaufun ‘alaihim) dan bahagia (wa lā hum yaḥzanūn).

Bagian zakat untuk Sabilillah guna mewujudkan kesejahteraan umum dan keunggulan di atas dapat diberikan dengan kriteria yang relevan sekarang sebagai berikut:

  1. Pembangunan prasarana dan sarana (jalan, gedung, pengadaan peralatan dll)
  2. Pengembangan sumber daya manusia (warga, guru, dosen, mubaligh/dai, pengusaha dll)
  3. Pengembangan kelembagaan (organisasi, perguruan, perusahaan, dll)
  4. Peningkatan kesejahteraan (guru tetap, guru honorer dll)
  5. Peningkatan kemampuan bersaing (penguasaan IT, kemampuan bahasa asing dan lain-lain)

BAB VII : PERMASALAHAN TERKAIT ZAKAT

A. Administrasi Zakat

Sebagai salah satu rukun Islam, zakat sesungguhnya adalah sebuah konsepsi yang besar, luas dan mendasar. Zakat mencakup banyak hal dan dimensi sekaligus, misalnya: ada unsur hubungan vertikal dan horizontal; merupakan ibadah [mahdhah] namun juga berdimensi sosial ekonomi dan kemasyarakatan, dan seterusnya. Bagian yang berkaitan dengan zakat sebagai bagian dari ubudiyah sudah dibahas dalam bagian lain, sehingga bagian ini akan fokus membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan aspek administratif zakat.

Administrasi zakat di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2011. Ketentuan undang-undang ini menetapkan dua bentuk kelembagaan yang berhak mengelola zakat, yaitu: Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ).

Dengan pertimbangan bahwa Baznas adalah institusi yang langsung berada dalam kerangka pemerintahan resmi, maka fokus tulisan ini, diarahkan kepada administrasi Lembaga Amil Zakat, yang memang terbuka untuk dikelola oleh masyarakat.

1. Landasan Hukum

Indonesia adalah sebuah negara yang dapat dikatakan beruntung, karena walaupun tidak dinyatakan sebagai negara Islam, namun warna Islam sangat terasa dalam kehidupan keseharian, termasuk dalam aspek hukum. Salah satu contohnya adalah bahwa negara ikut memberikan dukungan terhadap implementasi zakat dan haji.

Khusus untuk zakat misalnya, sudah diterbitkan undang-undang dan peraturan pendukung. Undang-undang zakat yang pertama terbit adalah UU No. 38 tahun 1999. Undang-undang ini kemudian disempurnakan dengan lahirnya (a) Undang-undang No. 23 tahun 2011. UU ini pun kemudian diperkuat dengan terbitnya (b) Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2014. Lebih jauh misalnya ada (c) Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Perhitungan Zakat Mal dan Zakat Fitri Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif; (d) Peraturan Menteri Agama Nomor 69 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Perhitungan Zakat Mal dan Zakat Fitri serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif; (e) Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Dalam Pengelolaan Zakat; (f) Surat Keputusan Dewan Pertimbangan BAZNAS Nomor 001/DP- BAZNAS/XII/2010 tentang Pedoman Pengumpulan Dan Pentasyarufan Zakat, Infaq, dan Shadaqah Pada Badan Amil Zakat Nasional; (g) Keputusan Ketua BAZNAS Nomor KEP. 016/BP/BAZNAS/XII/2015 tentang Nilai Niṣāb Zakat Pendapatan Atau Profesi Tahun 2016; dan (h) Keputusan Ketua BAZNAS Nomor 142 Tahun 2017 tentang Nilai Niṣāb Zakat Pendapatan Tahun 2017.

Berbagai ketentuan di atas secara jelas menegaskan betapa zakat telah mendapat tempat yang luar biasa dalam negara, pemerintahan serta masyarakat Indonesia.

Menarik untuk dicatat bahwa dalam konteks pendirian sebuah lembaga zakat, UU No. 23 tahun 2011 sudah mengatur tentang persyaratan administratif yang berkaitan dengan proses pendirian dan mereka yang dianggap memenuhi syarat untuk mendirikan lembaga zakat sebagai berikut (Pasal 18):

  1. Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh
  2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit:
    1. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial;
    2. berbentuk lembaga berbadan hukum;
    3. mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
    4. memiliki pengawas syariah;
    5. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya;
    6. bersifat nirlaba;
    7. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan
    8. bersedia diaudit syariah dan keuangan secara

Oleh karena itu, siapa saja yang dapat memenuhi persyaratan di atas, maka yang bersangkutan berhak mengajukan pendirian lembaga amil zakat di Indonesia.

2. Prinsip-prinsip Manajemen Zakat

Berkaitan    dengan manajemen zakat perlu diperhatikan perkataan yang populer dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, (r.a.), bahwa: “Kebenaran yang tidak diorganisir dapat dikalahkan oleh kebatilan yang diorganisir.”

Perkataan ini menegaskan bahwa kebenaran tanpa sistem atau disiplin yang baik dikalahkan oleh kebathilan yang dilaksanakan dengan sistem atau disiplin yang baik.

UU No. 23 tahun 2011 secara spesifik juga mengatur tentang prinsip-prinsip dasar pengelolaan lembaga amil zakat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 sebagai berikut: bahwa pengelolaan zakat harus berasaskan:

  1. Syariat Islam;
  2. Amanah;
  3. Kemanfaatan;
  4. Keadilan;
  5. Kepastian hukum;
  6. Terintegrasi; dan
  7. Akuntabilitas

Penerapan prinsip-prinsip di atas tentu saja dengan harapan dapat dicapai tujuan pengelolaan zakat yang dinyatakan dalam Pasal 3, sebagai berikut: (a) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan (b) meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Kondisi di atas pada waktu yang bersamaan diharapkan menjamin berdiri dan berjalannya lembaga zakat yang mempunyai sistem dan disiplin yang kokoh.

 


 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.